Title :
El Vuelo Sin Fin ~ Pelarian
Tanpa Ujung
Author :Allotropy Equilibria
Rating : 15+ for violence
Genre : Hurt (without comfort), Angst (maunya, sih ^^), and a bit Action I think.
Disclaimer : Wendel Odysseus Roxana Taddeo Hamilton (c) me adalah karakter original pertama yang kuciptakan di dunia Forum Role Play. cerita ini adalah fanfic tentangnya.
Warning : Ada ‘sedikit’ kekerasan dan ke-geje-an. Hm...
dijamin ‘lieur’. Hehehe..
Summary : Ia hanya bisa terus berlari dan sembunyi, berharap bisa
terlepas dari kejaran mereka.
~Please, enjoy the story~
.
.
.
EL VUELO SIN FIN
~ PELARIAN TANPA UJUNG ~
.
.
Salju. Salju di mana-mana. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah
gundukan es yang dingin. Di ujung cakrawala, warna putih kebiruan dari salju
bertemu dengan awan kelabu yang bergulung di langit. Di langit yang terus
menjatuhkan butiran salju. Hanya itu yang terlihat. Tak ada apa-apa lagi. Dia
hanya sendiri, berada di antara tumpukan salju dan gulungan awan.
Hanya dia sendiri.
Ah, ya. Dia memang selalu sendiri. Setidaknya, bila hanya makhluk hidup
saja yang dihitung. Karena ia tahu, di bawah gundukan salju yang diinjaknya,
berbaring tubuh-tubuh tak bernyawa. Tubuh-tubuh yang...dia ambil nyawanya.
Lihatlah. Darah mereka mulai merembes naik,
mewarnai butiran es dengan warna merah.
Ia juga bisa merasakan salju tempatnya berpijak mulai bergetar. Bergetar
karena dorongan dari bawah.
Lihatlah. Tangan-tangan yang mulai membusuk
terangkat, wajah-wajah yang dipenuhi dendam pun mulai terlihat, muncul di
antara serpihan salju.
Dengarlah, siapa yang mereka panggil dengan mulut
yang membiru itu?
“...Wendel...”
Ya, mereka memanggilmu. Mereka bergerak
mengerumunimu.
“KENAPA KAU
RENGGUT NYAWA KAMI?!”
“APA YANG
SUDAH KAMI LAKUKAN SEHINGGA KAU MEMBUNUH KAMI!?”
“KAU HARUS
BERTANGGUNG JAWAB, WENDEL!”
“KAU HARUS
IKUT BERSAMA KAMI!!”
Rasakanlah. Saat tangan-tangan yang dingin dan
mulai mengelupas itu menyentuhmu. Saat tubuhmu ditarik ke sana ke mari. Saat
mereka menyeretmu ke bawah – bukan, bukan ke dalam tumpukan salju yang dingin,
tapi ke dalam genangan darah yang bergejolak.
“KAU HARUS
IKUT KAMI KE NERAKA..!!”
.
.
.
Teriakan yang diucap dalam Bahasa Spanyol itu terdengar memenuhi sebuah
kamar flat kecil, memecah keheningan malam.
Seorang pria muda berumur awal 20 terbangun dari mimpi buruknya. Manik
hijau menatap liar ke sekeliling – mengumpulkan kesadaran, mencoba mengingat di
mana ia berada. Keringat dingin membasahi punggungnya. Padahal suhu udara jauh
di bawah nol derajat, tapi baginya ruangan itu terasa begitu panas, begitu
sesak.
Menarik lutut ke arah dada, pria bernama Wendel itu menempelkan dahinya ke
lutut. Rambut merah jatuh menutupi wajah latinnya yang nampak ketakutan.
“Maaf… Maafkan aku,” bisiknya di
tengah desahan napasnya yang terputus-putus. “Mi más profundo disculpas[iv]…” My deepest
apologize..
‘Kau pikir
maaf saja cukup!?’
‘Memangnya
dengan maaf orang-orang itu akan bisa kembali hidup??’
“Mi más profundo disculpas,” gumam Wendel dengan napas tercekat. Tangannya
yang dipenuhi bekas luka memeluk lutu – mencoba menghentikan gemetar tubuhnya.
Saat itu mungkin masih tengah malam. Suasana begitu sepi – tapi tidak bagi
Wendel. Ia masih bisa mendengar jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan penuh
dendam dan tuduhan yang ditujukan padanya.
Padahal ia baru saja tertidur saat jam berbunyi 12 kali, tapi..matanya
hanya terpejam beberapa menit saja. Karena mimpi buruk selalu menghantui, ia
tak pernah lagi merasakan seperti apa yang namanya tidur nyenyak.
Menyandarkan kepalanya ke tembok, Wendel menatap kamar tempatnya menginap
malam itu dengan tatapan nanar. Ruangan itu sungguh terasa pengap, membuatnya
terhimpit seolah mayat-mayat dalam mimpinya masih melingkarkan tangan mereka
yang membeku ke sekeliling tubuhnya.
Dengan napas yang masih tersengal dan jantung yang berdegup kencang, pria
jangkung itu meraih topi dan sarung tangannya, memutuskan untuk berjalan-jalan
sebentar – sebelum kepenatan itu menelannya.
.
.
.
Begitu keluar dari bangunan, hawa dingin yang menusuk tulang langsung
menerpa tubuhnya yang dibalut mantel panjang hitam. Wendel berjalan sambil
menundukkan kepala. Selain untuk melawan arah angin yang menerbangkan salju,
hal itu dilakukannya untuk menyembunyikan wajahnya di bawah topi besar warna
coklat yang menempel di kepalanya. Meski saat ini sepertinya hal itu tak terlalu
dibutuhkan – berhubung malam itu cukup
gelap, ditambah tak ada orang berkeliaran di sekitar situ.
Meski jalanan nampak sepi, tapi nuansa natal semakin kentara. Toko-toko
mulai dihiasi pernak-pernik dan pohon cemara yang jadi ciri khas malam suci
itu.
Sepasang bening hijau menatap etalase salah satu toko. Di balik kaca yang
berembun, nampak patung santa berdampingan dengan pohon cemara berhias
lampu-lampu.
Natal.
‘Kenapa? Apa
Wendy kecil ingin hadiah natal??’
‘Sampai kapan
pun kau tidak akan pernah dapat, Wen! Itu tidak cocok untukmu!’
‘Santa mana
mau mendatangi pembunuh sepertimu!’
Wendel mendengus. Memang siapa yang peduli dengan omong kosong macam itu? Natal
tak pernah berarti apa-apa bagi hidupnya. Ia terbiasa melewati malam suci itu
sendiri. Ah, tidak, ia salah. Ada yang menemani, kok.. Ya, dia pernah
menghabiskan waktu bersama mayat-mayat korbannya di malam kudus – bisakah itu
tetap disebut malam suci, jika dirinya bermandikan darah?
Meninggalkan toko tersebut, Wendel melanjutkan langkahnya tanpa arah.
Stille nacht, heilige nacht,
Alles schlaft; einsam wacht.......
Langkah kakinya terhenti saat nyanyian khidmat itu menjangkau telinganya. Ternyata
tanpa sadar ia telah tiba di depan gereja.
‘Siapa yang
menyanyi tengah malam begini?’
Manik hijau cerah yang kurang tidur itu memandang bangunan tua di
hadapannya.
‘Sedang apa kau, Wen? Mau masuk ke gereja?‘
‘Heh! Tempat
suci begitu tidak cocok untukmu!’
‘Kau tidak
pantas menginjakkan kaki di sana!!’
‘Bahkan Tuhan
pun takkan bersedia menerimamu!!’
Mencoba tak mempedulikan cemoohan yang bergaung dalam kepalanya, Wendel
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Yang didengarnya tadi bukan nyanyian
seseorang. Suaranya seperti berasal dari kaset....
Benar saja. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat 3 orang remaja yang
bergelung di atas lembaran kardus tipis sambil memeluk sebuah tape usang.
“Besok malam natal ya, Kak?” tanya seorang bocah di antara mereka.
“Benar. Kalau kau tetap jadi anak baik, nanti Tuan Santa pasti akan
memberimu hadiah,” sahut gadis berpakaian kusam. Nampaknya, ia yang paling tua
diantara dua orang yang lain.
“Benarkah? Kuharap –“
Entah apa yang diharapkan bocah gelandangan itu, kalimatnya tak pernah
selesai karena seorang pria berambut merah mendadak datang ke arah mereka.
“Natal! Malam ini sudah natal! Ayo kita berpesta!!” seru laki-laki paruh
baya itu dengan langkah sempoyongan.
“Dad! Kau mabuk lagi!? Aku kan, sudah bilang....”
Wendel tak tahu apa kelanjutan perkataan anak itu karena telinganya
mendadak berdengung. Ia merasa seperti melihat de ja vu.
Rambut merah.
Mabuk.
Pisau.
Ia mencengkeram mata kirinya yang mendadak terasa sakit. Bekas luka yang
melintang di sana terasa perih, seolah luka yang sudah terbentuk bertahun-tahun
lalu itu kembali mengucurkan darah. Dadanya terhimpit dan membuat napasnya
sesak.
Dengan napas terengah dan sambil menekan mata kirinya dengan sebelah
tangan, Sang Pria Latin meninggalkan tempat itu.
‘Kenapa, Wen? Kau teringat malam itu?’
‘Heh! Benar! Seperti itulah malam natal yang kau lalui!’
‘Membunuh... dan terus membunuh. Itulah hidupmu...’
‘Jangan lupa, Wen! Kau adalah pembunuh! Dan itu tidak akan berubah sampai
kapan pun!!’
“Shut up!“ geram Wendel.
‘Kau ingat malam natal lain yang kau lewati? Coba dengar. Apa kau kenal
jeritan ini?’
Pria berambut merah itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mencoba mengusir
suara jeritan yang bergaung di telinganya. Jerit ketakutan... teriakan panik...
erangan sakit... rasa darah yang mengaliri tangannya....
“Stop it!” desisnya putus asa.
.
.
.
Hembusan angin yang menusuk tulang sepertinya memang ciri khas musim
dingin. Berputar-putar menemani butiran salju yang jatuh di kegelapan malam. Di
malam yang dingin menggigit itu, orang-orang mungkin lebih memilih untuk
bergelung di balik selimut tebal dalam ruangan dengan pemanas, daripada
termenung di pinggiran danau dekat hutan. Tapi, di sanalah kita bisa mendapati
Si Pria Berambut Merah terduduk di atas gundukan salju.
Mendekap lututnya dengan erat, pria berparas latin itu termangu menatap
permukaan danau yang beku akibat musim dingin. Iris hijau menatap kegelapan di
balik lapisan es dengan pandangan kosong. Kegelapan yang seolah tanpa batas –
seperti hidupnya.
Mungkin bagus juga kalau dia membeku di bawah danau itu. Tersembunyi di
balik lapisan es, agar mereka tak bisa menemukannya. Agar mereka tak lagi
mengusiknya....
Srek.
Ada yang
datang.
Manik zamrud melebar karena terkejut. Detak jantung berpacu lebih cepat. Bagaimana
ia bisa tak sadar ada yang mengikutinya??
Dengan gerakan refleks, Wendel berdiri dan membalikkan tubuh. Telat sedetik
saja, peluru itu tak akan mengenai topi melainkan otaknya! Mengalihkan
pandangan dari topi coklatnya yang terjatuh di atas salju, pria latin itu kini
memandang Si Penyerang.
Otot-ototnya menegang menyadari mereka mengeluarkan aura yang sangat
dikenalnya. Aura yang..seolah mengatakan; siap membunuh siapapun yang
menghalangi – aura yang sama dengan miliknya, eh?
“Rambut merah dan bekas luka memanjang di mata kiri. Kurasa kita telah
menemukan sang pengkhianat,” ujar seorang pria berambut coklat sambil tetap
mengarahkan moncong pistolnya ke arah Wendel.
Di balik kelopak yang kurang tidur, bola hijau nampak memicing, melirik
sekitarnya, bersiap kalau-kalau ternyata ia sudah terkepung.
Seakan membaca kekhawatiran targetnya, orang itu berkata mengejek, “Tenang
saja, hanya kami berdua. Markas pusat belum dihubungi.” Ia mengedikkan kepala
ke arah rekannya yang sedang menggenggam handphone.
Tanpa membuang waktu, Wendel memuntahkan sebutir peluru dari pistolnya yang
dengan sukses mengenai tangan Si Pemegang Handphone dan membuat alat elektronik
itu terlempar sementara pemiliknya berteriak kesakitan.
“You bastard!!”
Detik berikutnya baku tembak terjadi diantara Wendel dan Si Rambut Coklat. Bunyi
tembakan terdengar menggema dan saling bersahutan di antara pepohonan yang
mengelilingi danau. Suara yang berisik itu mungkin akan membangunkan warga,
tapi mereka tak peduli. Yang ada di benak masing-masing hanyalah bagaimana cara
melumpuhkan lawan. Saat keduanya kehabisan peluru, laki-laki dengan rambut
coklat menerjang maju dengan pisau terhunus. Refleks hasil latihan yang begitu
keras membuat Wendel bisa menangkis tangan penyerangnya dan berbalik menghunjamkan
pisau kesayangannya ke perut orang itu. Darah langsung memancar dari sana, membasahi
salju di bawah mereka.
“Heh! Anak emas pimpinan memang hebat!” ujar orang itu dengan napas
tersengal.
Wendel menatapnya dingin.
‘Aku tidak sudi jadi
anak emas orang seperti dia!’ batinnya.
DORR!!
Temannya yang tadi hendak menghubungi markas dan selama baku tembak terjadi
hanya diam melihat dari pinggir, melepaskan peluru ke arah Wendel. Bukannya
menghindar, pria berambut merah itu justru menjadikan orang di hadapannya –
yang sudah sekarat – sebagai tameng. Akibatnya, peluru itu mengenai Si Pria Rambut
Coklat dan menghentikan detak jantungnya. Cairan berwarna merah terang kembali
menciprati long coat hitam milik
Wendel.
Membuang mayat yang secara tak langsung telah menyelamatkan nyawanya, manik
hijau itu kini menatap tajam yang seorang lagi.
Masih remaja.
Mungkin anggota baru, melihat ekspresinya yang begitu ketakutan karena
telah menembak rekan sendiri. Aura yang dimilikinya bahkan bisa dibilang lemah,
berbeda dengan orang yang barusan mati.
Kau tidak mengerti
dunia macam apa yang sedang kau masuki, Nak – sama seperti aku dulu.
Memanfaatkan kelengahan anak itu akibat shock, Wendel menarik pisau milik
Si Pria Coklat dan melemparnya tepat ke jantung si anak yang nampak gemetar.
Lebih baik jika kau
tak pernah tahu.
Wendel berjalan menghampiri tubuh mungil yang masih mengerang, meregang
nyawa.
Sepertinya tadi pisau itu kurang menancap.
Begitu berada di dekatnya, mata hijau yang kosong bertemu dengan bola biru
yang berair menahan sakit.
“Markas pusat belum tahu?” tanyanya dingin.
Anak itu menggeleng lemah sebelum ia terbatuk-batuk dan darah keluar mengaliri
mulut. Ia mengerang kesakitan.
Lebih baik kau tak
perlu terlibat lebih dari ini.
Dengan mata yang tetap tanpa emosi, Wendel menginjak ujung pegangan pisau
yang tertancap di jantung anak itu – membuatnya melesak lebih dalam. Hanya
jeritan tertahan yang terdengar sebelum nyawanya terlepas dari tubuh kecil itu.
Wendel terduduk di atas salju. Sementara bongkahan kecil es berjatuhan dari
pekatnya langit di atas sana. Membuat tubuhnya basah. Tapi ia tak peduli meski
dinginnya salju mulai merembes menembus celana dan mantelnya.
Ah... lagi-lagi begini.
Melepas mantel dan sarung tangan yang terkena cipratan cairan merah kental
milik lawannya, Sang Pria Latin lalu melemparkan kedua benda itu ke arah tubuh
yang terbujur kaku.
Hijau zamrud memandang butiran es di bawah yang perlahan berubah warna
menjadi merah. Ia tersentak saat teringat mimpi yang membuatnya terbangun tadi.
Tubuhnya gemetar dan gigi bergemeletuk bukan karena dingin. Tidak, ia tahu itu
hanya mimpi. Ia tahu mayat-mayat korbannya tidak berada di bawah kakinya saat
ini – mereka tersebar di berbagai tempat. Tapi, bukan itu intinya. Pada
dasarnya, kemanapun ia melangkah, di sana selaluu ada tetesan darah. Ia
mengepalkan tangannya dan memukulkannya ke atas gundukan salju.
Aarrghh...!! Kenapa?
Kenapa selalu seperti ini?
Padahal ia lari karena ingin melepaskan diri dari semua ini. Ia ingin
terbebas dari jalan yang mengikatnya ini. Tapi pada akhirnya, tetap saja
dirinya bermandikan darah.
Haruskah ia menyerahkan diri? Barangkali saja mereka akan dengan senang
hati membunuhnya. Tapi, tidak. Ia tahu pimpinan tidak akan memberi hukuman
seringan itu.
Lalu apa yang harus dilakukannya?
Kemanapun ia pergi, insting pembunuh yang sudah terlatih begitu baik tetap
saja membuat tangannya kembali merenggut nyawa orang lain.
Adakah tempat di mana ia bisa terbebas dari itu semua??
Setetes cairan merah terjatuh ke atas butiran es. Ah..ternyata berasal dari
tangannya yang tadi tergores pisau Si Rambut Coklat. Mengambil segenggam salju,
pria latin itu lalu menempelkannya ke atas luka melintang di tangan kirinya
untuk menghentikan pendarahan. Tentu saja ia bisa merasakan dingin dan sakit
yang menjalar dari sana. Tapi, ekspresi wajahnya tetap dingin sedingin udara
malam.
Jadi, ia harus berterimakasih pada ayah dan mereka yang sudah membuatnya
terbiasa dengan rasa sakit, eh?
Senyum getir terbentuk di bibir kering itu.
Kepala berambut merah yang tadi menunduk, tersentak saat mendengar kedatangan
seseorang yang berjalan mendekati danau.
Gawat. Ia harus segera pergi sebelum ada yang melihatnya.
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Wendel berdiri dan berlari
meninggalkan tempat itu. Ia berlari secepat mungkin. Ya, hanya itu yang bisa
dilakukannya – lari! Berpindah dari
satu tempat ke tempat lain. Berharap ada tempat yang dapat membuat dirinya
terlepas dari itu semua. Terlepas dari jejak kakinya yang berdarah di atas
gundukan salju.
Terus berlari, entah sampai mana.
.
.
.
~FIN~
.
.
A/N : Well, bagaimana? Anehkah? Bingung?
Ngm, sekedar penjelas : ‘Blablablabla’ adalah suara-suara yang bergaung dalam kepala Odie – semacam pertengkaran
batin begitu...
Hng... terimakasih sudah bersedia membaca cerita aneh ini... ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar