Author: Allotropy Equilibria (@allotropy117)
Genre: family, romance,
hurt/comfort
Cast: Chanyeol, Baekhyun
Pairings: BaekYeol
Length: oneshoot (maybe
twoshoot)
Rating: PG
Disclaimer: Semua cast yang ada di
sini adalah milik Tuhan dan memiliki diri mereka masing-masing. Saya hanya
punya alur cerita aneh ini saja. Ide murni keluar dari sel-sel kelabu dalam
otak saya.
Warnings: typos, setting ngaco,
brothership menjurus shonen ai a.k.a boyxboy. Kalo ga suka boyxboy, ga usah baca, seriusan.
Summary: Aku ingin pulang...
Tapi... tak ada tempat yang bisa kujadikan tujuan pulang...
PULANG
.
.
Malam itu hujan turun dengan sangat deras.
Langit begitu pekat dipenuhi gumpalan awan kelabu yang tebal. Tetes-tetes air
berlomba mencapai tanah dan bergabung membentuk jalur sungai baru di atas
jalanan karena tak tertampung oleh sistem drainase kota. Udara begitu
dingin menggigit. Membawa butiran air bersama dedaunan menghalau pandangannya.
Meski begitu, langkah kecilnya
terus menapaki aspal yang berlapis air. Menciptakan bunyi kecipak dan
menyebabkan cipratan lumpur pada baju tipisnya. Tanpa bisa dicegahnya, tubuh
kecil itu menggigil di bawah tetes hujan. Tak ada atap yang mau menaunginya.
Tak ada tembok yang bersedia menghalau angin untuknya. Langkah gontai itu terus
maju tanpa arah.
Jemari indah yang dihiasi bekas
luka gores serta kulit yang mengelupas itu menyentuh perutnya. Rasa perih yang
tak tertahankan di lambungnya membuat paras manisnya meringis. Cengkeraman kuat
diberikannya pada bajunya yang basah kuyup, berharap tindakan itu akan
mengurangi rasa melilit tak terkira yang mendera.
Sepasang kristal kelamnya menatap
kabur jalanan gelap di depan. Tak ada seorangpun di jalanan ini. Tentu, siapa
yang sudi keluar tengah malam dalam hujan sederas ini? Kecuali orang yang kabur
dari rumah sepertinya, mungkin....
Pertokoan juga sudah tutup, tak
ada yang bisa ia mintai sedikit saja makanan untuk mengurangi perih perutnya.
Sedikit saja energi untuk menghentikan gemetar tubuhnya.
Brukkk!!
Tak ada pasokan nutrisi yang
cukup untuk tiap sel darah yang mengalir di pembuluhnya membuat sosok mungil
itu ambruk di atas aspal. Tetes hujan yang masih tak berhenti dari langit
menampar kulitnya dengan kasar. Dingin sekali. Kepalanya berdentum-dentum.
Otaknya meraung meminta pasokan nutrisi untuk organnya. Matanya terasa berat.
Lelah sekali....
Apakah ia akan mati di sana?
Mungkin itu pilihan yang lebih
baik....
.
.
.
Suara cicit burung yang samar
terdengar adalah hal yang membuatnya terbangun. Wangi lembut dari kain hangat
yang membungkusnya adalah yang kemudian memenuhi inderanya. Sensasi nyaman dan
empuk yang sudah lama sekali tak dirasakannya. Membuat tubuh mungilnya
bergelung semakin rapat, seolah ingin meraup penuh kenikmatan itu.
Seiring kesadaran yang kembali
perlahan-lahan, otaknya mulai mempertanyakan di mana ia berada sekarang.
Sebelum indera penglihatnya mulai mempelajari ruangan itu, bunyi pintu yang
terbuka membuat sosoknya terbangun dalam hitungan detik. Postur kecil itu
refleks berdiri dan menuju sudut ruangan. Kristal kelamnya menatap tajam celah
yang semakin terbuka lebar.
Sesosok pemuda tinggi dengan
surai gelap yang terjatuh indah membingkai wajah manis itu memasuki ruangan
dengan raut kaget. Ekspresi yang hanya terbentuk sepersekian detik sebelum
paras tampan itu dihiasi senyum lebar yang merekah sempurna di bibirnya.
“Kau sudah bangun ternyata. Kalau
begitu akan kuseduh juga punyamu,” ujarnya dengan riang sebelum kembali
menghilang di balik pintu. Tak memberi kesempatan padanya untuk merespon
sedikitpun.
Dengan kepala berat yang masih
pusing dan semakin berputar-putar karena tak memahami apa yang terjadi padanya,
entitas berpostur mungil itu melangkahkan kaki keluar ruangan. Kamar yang
sedikit remang-remang karena tirainya belum dibuka tadi memang tak sempat ia
perhatikan. Namun, ruangan yang ada di balik pintu kayu bercat putih itu sempat
membuatnya termangu.
Berbagai perabotan indah yang
sudah pasti mahal memenuhi beragam ruangan yang luas itu. Lantai marmer yang
berkilat terasa dingin menyenangkan di telapak kakinya yang semalam tergores
aspal karena tak memakai alas kaki. Langit-langit yang tinggi dihiasi lampu
gantung yang berkilau dipenuhi kristal, membuat iris kecilnya melebar karena
terpesona. Entah kenapa ruangan tempat ia berpijak ini membuatnya teringat pada
istana raja. Kalau begitu, rakyat jelata miskin dan kotor sepertinya harus
segera menyingkir agar tak merusak keindahan itu, bukan?
Saat itulah ia baru menyadari
bahwa tubuhnya tidak basah. Bajunya tidak basah. Malah sangat kering dan
hangat. Dan lembut.... meski sedikit kebesaran.
Sejak kapan ia ganti baju? Apa –
Ototnya yang sempat merileks
karena ruangan indah itu kembali menegang saat berbagai pemikiran buruk
menghantam sel-sel kelabu otaknya. Apakah pemuda dengan senyum lebar tadi
adalah yang membawanya kemari? Apakah
pemuda itu yang mengganti bajunya? Apakah pemuda itu telah melakukan –
Tanpa bisa dicegahnya, tubuh
mungil itu kembali gemetar. Rasa takut menggantungi hatinya yang berdebar
hingga suara dalam yang tiba-tiba beresonansi di udara membuatnya melonjak.
“Ah, kebetulan sekali. Kemari, makan
di sini saja,” ujar sosok jangkung itu dengan dua buah mie cup di tangannya.
Lengan panjang itu memberi gestur ke arah salah satu sofa. “Punyamu belum
terlalu matang, jadi ditunggu saja dulu.” Suara rendah itu kembali terdengar
seiring jemarinya meletakkan sebuah cup di atas meja kaca.
Iris coklat yang besar bagai
manik itu lalu menatapnya dan senyum lebar itu kembali terpahat di bibirnya.
“Jangan berdiri di situ. Kemarilah,” ucapnya.
“Ini... di mana...?”
“Apartemenku. Semalam kau pingsan
di jalan jadi kubawa kemari,” sahutnya sambil mulai membuka tutup plastik cup
dan meniup-niup untaian mie yang mengepul.
“Wae....?” Suara lemahnya kembali
tercekat sementara kakinya yang sedikit sakit berusaha keras menopang tubuhnya
agar tidak limbung.
Pemuda itu menatapnya bingung.
“Kau tanya kenapa aku membawamu ke sini?” Ia bertanya memastikan setelah
mengunyah ramyun-nya. “Soalnya.... hmmm... kenapa ya...?” Paras manis dengan
bola mata besar itu mengerut dengan raut berpikir. Seolah berusaha menguraikan
hal yang tak pernah ia pikirkan selama ini.
Di tengah keheningan yang aneh
itu, sebuah bunyi yang amat memalukan terdengar di penjuru ruangan.
Kriuuukk....
Ia hanya bisa menundukkan wajah
dengan sangat malu saat lambungnya yang melilit perih bersuara begitu keras.
Memecah suasana kaku yang menggelayut berat di udara. Apalagi saat kemudian
tawa renyah terdengar dari pemuda bersuara bass itu.
“Itu. Itu alasanku. Soalnya
perutmu bunyi keras sekali. Jadi kubawa kau pulang,” ujarnya dengan diiringi
kekehan. “Kemarilah. Kau lapar, kan?” Ia menepuk-nepuk sofa di samping
tempatnya duduk.
Sosok mungil itu masih tak
beranjak dari tempatnya berdiri. Mata kecilnya memicing, berusaha keras
berpikir di tengah rasa lapar yang begitu menyiksa. Tubuhnya meronta-ronta,
menagih asupan sumber energi agar proses metabolisme dalam tiap sel-nya tetap
bisa berlangsung. Meski begitu... ia tak bisa begitu saja mempercayai.... orang asing.
“Tenang saja, tidak kuberi racun,
kok,” ucap pemuda bersurai coklat gelap itu. “Lihat, aku tidak apa-apa, kan?
Atau kau ingin makan punyaku?”
Tetap tak ada sahutan dari
entitas berparas manis itu. Wajah mulusnya yang terlihat lelah masih berkerut.
Dengan helaan napas, sosok
jangkung itu bangkit dari sofa sambil membawa cup ramyun di tangannya.
“Kau itu keras kepala ya,”
gumamnya sambil mendekati individu yang berdiri tegang itu. Alis yang menghiasi
sepasang kristal besar itu terangkat saat menyadari postur mungil di hadapannya
bergerak mundur dengan panik. Seulas senyum paham terpahat di bibirnya. “Aku
tidak berbuat macam-macam padamu, kok. Dan aku bukan penculik atau orang mesum.
Aku hanya memungutmu soalnya kau lucu.”
Kerutan semakin dalam terbentuk
di dahi laki-laki dengan postur kecil itu. Apalagi pemuda bertubuh jangkung ini
malah terkekeh senang.
“Kau boleh menginterogasiku
nanti, tapi sekarang makan dulu saja. Ini. Ayo buka mulutmu. Aaa...” Sambil
mengangkat untaian tepung basah berwarna kekuningan, pemuda itu membungkuk dan
menyodorkannya tepat di depan wajahnya.
Seolah mengkhianati harga
dirinya, lambungnya yang begitu kosong kembali berbunyi. Seolah meneriakinya
untuk segera melahap sumber makanan itu. Dengan jemari yang gemetar karena
bimbang, sosok mungil itu menyelinap pergi dari hadapan si pemuda jangkung.
Tangan kecilnya meraih satu cup lain yang tadi disimpan oleh pemilik rumah di
atas meja.
“N-nanti... akan kubayar...”
ujarnya perlahan namun didengar oleh pemuda satunya.
Raut yang dibingkai surai halus
itu kembali mengukir senyum lebar. “Bagaimana kalau kau bayar dengan namamu,”
ujar suara berat itu.
Lagi, raut bingung dan heran
membayangi paras manis itu. Kristal kecilnya menatap tak mengerti postur
jangkung yang sudah kembali duduk di sofa.
“Aku Park Chanyeol. Kau?” ujarnya
tetap dengan senyum merekah. Terdengar suara seruput kuah mie sebelum suara
bass itu kembali terdengar. “Ah – kalau memang tidak mau memberitahu –“
“...baek..hyun....”
Sahutan perlahan itu membuat Park
Chanyeol kembali menampilkan barisan giginya yang putih dan rapi. “Duduk sini,
Baekhyun-ah. Sebelum mie-nya dingin,” ujar sosok itu sambil menepuk perlahan
sofa di sampingnya.
.
.
.
“Aaaaaahhhh!!!!! Aku telat!!!”
Pemuda bernama Park Chanyeol itu mendadak berteriak setelah menghabiskan ramyun
cup-nya. Tubuh jangkungnya melesat menuju kamar dan bunyi brak bruk berbagai
benda terdengar selama beberapa menit. Sebelum sosok yang sudah lebih rapi dan
lebih wangi itu keluar kamar lengkap dengan tas ranselnya.
“Aku pergi dulu. Jaga rumah ya
Baekkie-ah. Aku akan pulang sebelum matahari terbenam. Sampai nanti.” Setelah
mengucapkan kalimat itu dengan diiringi sebuah usapan lembut di surai cerah
Baekhyun, pemuda itu melintasi ruangan dan menghilang di balik pintu depan.
Tanpa memberi kesempatan Baekhyun untuk menyerap apa yang terjadi. Tanpa memberi
kesempatan untuk merespon. Meninggalkan sosok mungil itu terpaku di tempatnya
duduk dengan sepasang sumpit masih menggantung di udara.
Saat perlahan bisa menerima apa
yang terjadi, Baekhyun menghampiri pintu dan mencoba membukanya.
Tidak terkunci.
Lorong dengan nuansa coklat yang
tak kalah indahnya adalah pemandangan yang tertangkap oleh sepasang kristalnya.
Dengan orang-orang yang sesekali berlalu-lalang menuju lift di ujung koridor.
Kenapa tidak dikunci?
Dengan amat perlahan, ia menutup
kembali pintu kayu itu. Detik berikutnya, tubuh mungil itu merosot dan terduduk
di lantai. Kepalanya yang masih terasa berat disandarkan pada pintu.
Baekhyun tahu, tidak seharusnya
ia membuka diri begitu saja pada orang asing. Tidak seharusnya ia berdiam di
tempat ini, benar? Tapi... Park Chanyeol telah menolongnya. Menyelamatkannya
dari amukan hujan, dari siksaan angin, dan menghindarkannya dari mati karena kelaparan....
Meski hanya sebuah ramyun cup, tapi itu semua lebih dari cukup. Lambungnya yang
memberontak hingga berdarah-darah sudah tenang. Rasa hangat yang menyenangkan
bahkan kini memenuhi tubuhnya akibat kuah yang panas. Pemuda itu bahkan
meminjaminya baju yang kering dan hangat.
Lebih daripada itu....
“Jaga rumah, ya...”
“Aku akan pulang sebelum matahari terbenam....”
Kata-kata yang bagaikan janji
itu... membuat Baekhyun gemetar. Gemetar karena ia tak yakin apakah dirinya
benar boleh berharap atas sesuatu yang terkandung dalam kata-kata tersebut.
Benarkah ia boleh menganggap bahwa dirinya... tidak diusir?
“Baekkie-ah....”
Tanpa sadar, seulas senyum tipis
terbentuk di bibir Baekhyun mengingat cara Park Chanyeol memanggilnya tadi.
Entah kenapa, ia suka panggilan itu. Panggilan yang begitu hangat...
.
.
.
Saat hendak membuang cup bekas di
tangannya, Baekhyun kembali ternganga saat tiba di dapur. Bukan saja karena
peralatan di sana terlihat jelas sangat high-class, tapi lebih karena betapa
berantakannya ruangan itu. Cup mie bekas menumpuk banyak sekali di tempat
sampah, juga di wastafel, bahkan beberapa di atas meja makan. Membuat lelaki
mungil ini bertanya-tanya, berapa kali Park Chanyeol memakan ramyun dalam
sehari?
Bukan hanya itu saja, tumpukan
mug bekas kopi dan teh juga bertebaran. Bahkan kalau diingat lagi, di ruang
tengah tadi juga ada. Selain itu, tumpukan baju menggunung begitu saja di dekat
pintu kamar mandi. Selain beberapa tercecer di kamar dan di berbagai tempat di
rumah kecil itu. Bahkan bajunya yang masih basah disampirkan di atas kursi.
Fakta bahwa dirinya tak bertemu
siapapun lagi di apartemen luas itu membuat Baekhyun mendesah paham atas
kondisi ini. Namun kemudian paras manis itu kembali tersenyum. Mungkin akan
tidak sopan jika ia sembarangan menyentuh barang sang pemilik rumah, tapi
terbiasa mengerjakan hal serupa di tempatnya tinggal dulu membuat pemuda ini
tak bisa diam saja melihat kondisi rumah yang berantakan.
Lagipula, anggap saja sebagai
ucapan terima kasih, benar?
Dengan senyum yang semakin lebar,
jemari indah namun dipenuhi luka itu mulai mengumpulkan cup ramyun dalam satu
trash bag besar.
.
.
.
Baekhyun tengah memasangkan
baju-baju yang basah dan wangi pada kaitan tali di balkon belakang saat
didengarnya suara-suara berisik. Bunyi pintu yang dibanting kasar, suara
benda-benda jatuh, dan disertai dengan bentakan-bentakan serta rintihan.
Beragam gelombang bunyi yang beresonansi di udara itu mencapai telinga serta
otaknya. Sayangnya, bukan hal baik yang diberikan sang otak sebagai respon.
Berbagai bunyi yang teramat
familiar bagi indera pendengarnya itu membuat sel kelabu otaknya
memvisualisasikan pemandangan yang biasa dilihat lensanya. Membuatnya teringat
pada suara bentakan mengerikan yang begitu dihafalnya. Membuat kulitnya
merinding seiring ingatan akan rasa sakit yang biasa diterima syaraf
sensoriknya kembali mendera.
Dengan tubuh gemetar, Baekhyun kembali
masuk ke dalam. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Pemikiran bahwa mereka mengejarnya dan telah
menemukannya membuat lelaki berpostur mungil ini sangat ketakutan. Seiring
barang pecah terdengar semakin keras dalam kepalanya, Baekhyun masuk ke dalam
kamar dan meringkuk di dalam lemari. Bahkan pintu yang tertutup itu tak bisa
meredam bentakan kasar yang sudah masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Membuat
laki-laki ini menangkupkan jemarinya di telinga. Berusaha menghalau berbagai
umpatan menyakitkan itu. Seiring bibir tipisnya terus bergetar dan giginya
bergemeletuk keras.
.
.
.
Senandung riang dengan nada cepat
terdengar dari kerongkongan penghasil suara bass Chanyeol. Pemuda bertubuh
jangkung itu menepuk-nepukkan jemari pada paha mengikuti hentakan musik yang
terdengar lewat headset-nya. Senyum lebarnya terus terpampang sepanjang
perjalanan menuju lift dan menuju pintu apartemennya.
Saat tiba di depan pintu
rumahnya, Chanyeol tak bisa memungkiri ada rasa was-was di hatinya. Dengan
tarikan napas panjang, ia membuka pintu dan melongok ke dalam. Ruangan yang
remang-remang karena hari memang mulai gelap membuat pemuda ini mendesah
perlahan. Raut kecewa sama sekali tak ditutupinya meski seulas senyum maklum
mampir di bibir indahnya.
“Ternyata memang pasti pergi,
ya,” gumamnya perlahan.
Tubuh jangkung itu menghampiri
saklar dan menyalakan listrik hingga rumah indahnya kini dihujani cahaya putih
benderang yang menenangkan. Saat itulah, irisnya mendapati ada yang berbeda
dengan rumahnya. Baju kotornya yang tercecer di dekat sofa sudah tidak ada.
Bekas cup ramyun-nya juga tidak ada. Ia baru sadar bahkan, lantai marmernya
terasa lebih nyaman diinjak. Dan rumahnya wangi.
Berjalan menuju dapur, Chanyeol
mendapati pintu balkonnya terbuka. Saat hendak menutupnya, pemandangan yang
dilihatnya membuatnya terdiam. Bukan, bukan karena ternyata baju-baju kotornya
ada di sana dan sedang tersibak angin di atas jemuran – well, itu juga membuatnya
kaget. Akan tetapi, yang membuat pemuda ini terdiam adalah... pekerjaan yang
tidak selesai. Terlihat beberapa lembar bajunya masih ada dalam ember. Selain
itu, ada secarik baju yang terjatuh begitu saja, menyangkut di dekat pintu.
Seolah siapapun yang sedang menjemur pakaian ini tadi, terpaksa pergi karena
sesuatu hal yang sangat mendesak.
Karena insting dan firasat,
Chanyeol kembali memasuki rumah dan melongok di kolong-kolong serta membuka
lemari-lemari. Mencari sesuatu – lebih tepatnya seseorang – yang entah kenapa
ia curigai masih ada di suatu tempat di apartemennya.
Saat melewati kamarnya, Chanyeol
samar-samar mendengar suara gesekan. Indera pendengarnya yang memang tajam
ditambah suasana yang sepi membuat pemuda ini yakin bahwa yang dicarinya ada di
sana. Di balik lemari bajunya yang besar itu.
Dengan langkah perlahan, ia
menghampiri lemari. Seulas cengiran sudah ia persiapkan saat jemarinya
menyentuh pintu kayu itu. Namun, tarikan otot itu tak jadi terbentuk saat pintu
membuka. Seruan riang yang hendak dilontarkannya pun tertelan kembali.
Digantikan dengan lensa yang melebar karena apa yang tersaji di hadapannya
membuat pemuda ini terpaku.
Di sana, di dalam kegelapan di
ruang sempit lemarinya, tubuh mungil Baekhyun bergelung begitu rapat. Saat
pintu terbuka tadi, Chanyeol bersumpah ia mendengar tarikan napas tertahan yang
terdengar begitu... takut. Bahkan kini sosok itu masih tak mau mengangkat
wajahnya. Kepala itu tertunduk dengan kedua tangan di dekat telinganya. Seolah
mengantisipasi teriakan dari pemuda ini – yang tentu saja tidak berniat ia
berikan.
Chanyeol berlutut dan mengulurkan
tangannya perlahan. “Baekhyun-ah...” panggilnya.
Tepat saat ujung jemari
panjangnya menyentuh pundak lelaki di hadapannya, Baekhyun berjengit dan
memundurkan tubuhnya. Akibat ruang yang sudah tak tersisa, laki-laki mungil itu
jadi membentur permukaan lemari dengan suara yang cukup keras.
“Maafkan aku... maaf....”
lirihnya. Ucapan yang tentu saja membuat Chanyeol mengerutkan alisnya bingung.
“Baekhyun-ah, ini aku. Chanyeol.
Apa yang membuatmu takut?” Pemuda tinggi ini kembali mencoba meraih sosok yang
terlihat menyedihkan itu. “Keluarlah, kita makan, ya?” Chanyeol berusaha meraih
pergelangan tangan Baekhyun dan berniat menggiringnya keluar.
Namun, saat jemarinya melingkari
pergelangan itu dan menariknya pelan, Baekhyun kembali berseru tertahan.
Suaranya parau saat kembali meracau tak jelas. “Kumohon, maafkan aku... maaf..
ti-tidak akan kuulangi.... maafkan aku....” ujarnya dengan suara tercekat.
Chanyeol menatapnya lekat dan
hatinya terluka saat melihat paras manis itu dibasahi air mata. Namun, yang
lebih menyakitkan adalah sepasang kristal kecil yang mempesona itu terlihat
berkabut, tak fokus. Seolah syaraf penglihatnya menampilkan sesuatu yang
tersimpan di bawah alam sadar sehingga sosok namja jangkung ini tak tertangkap
lensanya.
Entah dorongan dan pemikiran dari
mana, bukannya menjauh dan meninggalkan sosok mungil itu, Chanyeol justru
menariknya lebih kuat – namun tetap hati-hati dan lembut – dan membawa postur
kecil itu dalam lingkaran lengannya. Tentu saja, teriakan panik adalah yang
pertama diterima Chanyeol sebagai respon. Bahkan racauan Baekhyun semakin tak
masuk akal.
“Maaf.... kumohon maafkan aku....
kumohon... jangan lakukan itu... aku akan lakukan apapun.. tapi kumohon jangan
lakukan itu.. kumohon....”
Permohonan yang terdengar begitu
putus asa itu justru membuat Chanyeol mendengar bunyi derak di dadanya. Karena
itu, tak mempedulikan Baekhyun yang berusaha melepaskan diri dari genggamannya,
pemuda bertubuh jangkung ini justru semakin mengeratkan dekapannya. Merasakan
dengan jelas gemetar tubuh laki-laki di hadapannya yang terisak perlahan.
“Kumohon... jangan... maafkan
aku.... j-jangan... jangan lakukan itu...”
Ia tak mengerti dengan apa yang
terjadi. Ia tidak paham apa sebenarnya yang dilihat Baekhyun dan apa maksud
dari perkataannya. Ia tak tahu apa yang mungkin telah terjadi pada laki-laki
ini hingga membuatnya begitu takut. Tapi, Chanyeol tak peduli pada itu semua.
Ia hanya paham bahwa Baekhyun begitu ketakutan, bahwa Baekhyun begitu terluka.
Dan ia hanya peduli bahwa dirinya akan di sana untuk menenangkan laki-laki itu.
“Baekkie-ah... aku tak akan
melakukan apapun padamu.... uljima....” bisiknya sambil mengusap lembut punggung
Baekhyun yang masih bergetar hebat.
.
.
.
Entah berapa menit berlalu
Chanyeol terus mendekap tubuh mungil itu. Lengan kuatnya menopang laki-laki
yang semakin tenang dan berhenti memberontak darinya. Jemari panjangnya terus
mengelus lembut punggung serta rambut dari Baekhyun yang tak lagi gemetar.
Tanpa disadari Baekhyun, pemuda jangkung ini telah membawa mereka untuk duduk
nyaman di atas kasur empuk alih-alih di atas marmer keras dan dingin.
Mendapati orang yang
menghampirinya tidak melakukan sesuatu yang buruk padanya, perlahan Baekhyun
mulai menerima bahwa orang yang mendekapnya ini bukan yang ada dalam
bayangannya. Merasakan degup jantung yang konstan di telinganya, juga sentuhan
hangat yang terus melingkupinya, laki-laki ini perlahan mengenali siapa sosok
tinggi itu.
Meski begitu, ia masih tak
mengangkat wajahnya. Masih tak bersuara dan membiarkan lengan itu tetap
merengkuhnya. Setelah sadar bahwa itu Chanyeol dan ingatannya samar-samar makin
jelas atas keanehan sikapnya yang meracau tadi, Baekhyun jujur saja sangat
malu. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi sang pemilik rumah ini.
Bagaimana ia harus bersikap? Bagaimana memecahkan atmosfer hangat yang
membuatnya berdebar ini?
Tapi, tentu tidak mungkin ia
terus diam begini, bukan? Cepat atau lambat ia harus melepaskan diri dari
dekapan hangat namun membuatnya tercekat ini.
“Ch-chanyeol-ssi....” panggilnya
perlahan. “...mianhe....” Tubuh mungilnya melepaskan diri dengan halus dari
lingkupan tangan Chanyeol meski kepalanya masih tertunduk dalam.
Kristal besar Chanyeol menunduk
dengan sedikit terkejut sebelum binar riang kembali menari di irisnya. “Aku
lapar. Kita makan, ya?” sahutnya dengan suara beratnya. “Kau mau rasa apa?
Kimchi? Ayam lada hitam? Ah – kemarin aku baru beli rasa baru. Rasa gulai. Kau
mau –“
Gerakan pemuda bertubuh jangkung
yang hendak bangkit dari tempat tidur dan mengambil ramyun cup di dapur itu
terhenti karena jemari kecil yang dipenuhi luka itu menyentuh lengannya. “Jangan...
ramyun lagi....” ujarnya perlahan.
Chanyeol memiringkan kepalanya.
“Wae? Kau tidak suka ramyun?” tanyanya polos.
“Kalau boleh.... biar... biar aku
yang memasak....” sahut laki-laki berpostur lebih kecil itu. “Ramyun... tidak
bagus untukmu....”
Tawaran yang dalam hitungan
sepersekian detik membuat senyum di wajah Chanyeol tertarik begitu lebar,
menampilkan barisan gigi yang putih.
.
.
.
Sejujurnya Baekhyun tidak menyangka
kulkas di rumah yang berantakan dan terlihat tak terurus itu ternyata isinya
lengkap. Dan bukan hanya makanan kaleng tapi ada daging, dan sayur – meski
sudah sedikit layu, tapi tidak busuk. Seolah kulkas itu sering diisi dengan
stok segar setidaknya 2 atau 3 hari sekali.
Hal itu sebenarnya membuat namja
mungil ini sedikit penasaran. Apakah Chanyeol rutin berbelanja? Tapi dari
sikapnya – yang baru ia pelajari tak sampai 24 jam kebelakang – pemuda itu
bukan tipe yang senang membeli barang keperluan sehari-hari seperti stok untuk
di kulkas. Atau ada orang lain yang tinggal di apartemen itu? Hal ini mungkin
saja, mengingat rasanya ada 2 kamar tidur di sini. Atau mungkin pemuda itu
memiliki pengurus rumah yang biasa membelikan barang kebutuhannya?
Meski penasaran, Baekhyun memilih
untuk diam dan mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Karena sudah cukup larut,
laki-laki ini memutuskan untuk tidak membuat masakan yang sulit. Yang sederhana
saja seperti bokeum bap (korean fried rice) dan gaeran mari (korean egg roll),
mungkin cukup.
Sadar bahwa dirinya hanya akan
mengganggu dan bukannya membantu jika berada dekat-dekat dengan koki dadakannya
itu, Chanyeol pun hanya diam dan duduk dengan manis di kursi makannya. Sepasang
kristalnya menatap Baekhyun dengan sinar riang. Cengiran lebarnya tak hilang
sejak bermenit-menit yang lalu. Bahkan sesekali semakin lebar tertarik jika
irisnya menangkap Baekhyun melakukan sesuatu yang dianggapnya lucu. Kepala
bersurai coklat gelapnya bergoyang-goyang ke kanan dan kiri, seperti anak kecil
yang dengan sabar menunggu dibelikan es krim. Tak jarang, leher panjangnya
menjulur untuk melihat lebih jelas apa yang dilakukan laki-laki di hadapannya
itu.
Tak butuh waktu lama, ruang makan
itu sudah dipenuhi aroma masakan yang menggugah selera. Baekhyun merasa malu
saat mendapati sinar bahagia menari di mata Chanyeol. Apalagi pemuda itu
berseru berisik saat makanan disajikan.
“Woaaahhh!!! Tampak lezat
sekali!” ujar suara rendah itu. “Boleh kumakan sekarang?”
Bahkan sebelum satu anggukan
berhasil dilakukan Baekhyun, sendok Chanyeol sudah meraup dan butiran nasi itu
masuk ke mulutnya.
“Mian aku hanya membuat ini –“
“Huwwaaaa... mashitaa!!” Seruan
bernada dalam itu memotong ucapan Baekhyun. “Ini enak sekali! Haahh... sudah
lama sekali tidak makan seenak ini. Coba kalau tiap hari begini ya,” ucap
pemuda itu dengan cengiran lebarnya.
“Gomawo.” Hanya jawaban pelan itu
yang diberikan Baekhyun. Meski sebenarnya hatinya terasa begitu hangat melihat
Chanyeol makan dengan begitu lahap. Benar, Baekhyun sudah terbiasa menyiapkan
makanan. Ia sudah dipaksa untuk memasak sejak bertahun-tahun lalu hingga
terluka karena terkena irisan atau luka bakar sama sekali bukan hal baru
baginya. Namun selama ini, tak pernah ia merasa sebahagia ini melihat seseorang
memakan masakannya. Baru kali ini ia mendapat pujian atas makanannya.
“Kau juga makanlah. Ini.” Suara
besar Chanyeol menyeruak lamunannya dan Baekhyun pun ikut duduk.
Gerakan tangannya di udara lalu
terhenti karena Chanyeol kembali bertanya.
“Setelah ini, kau akan ke mana?”
Pertanyaan yang diutarakan dengan
halus itu sukses membuat Baekhyun membatu. Tentu saja. Pemuda itu tengah
mengusirnya dengan amat halus. Ia tadi berhalusinasi terlalu tinggi dengan
berharap bahwa pemuda ini menerimanya. Tentu saja, sudah waktunya ia pergi dari
sana, bukan?
Tapi, ia tak memiliki tempat lain untuk dituju....
Melihat kepala bersurai coklat
cerah itu tertunduk, Chanyeol kembali tersenyum lebar. “Bagaimana kalau kau
tinggal di sini saja?” tawarnya.
“Mwo?” Perkataan yang di luar
perkiraan Baekhyun membuat namja itu mengangkat wajah dengan terkejut.
“Ternyata kalau tinggal sendiri
itu memang sepi. Kalau kau di sini, pasti seru. Aku juga jadi bisa makan enak.
Tinggal di sini saja, ya?” ucap pemuda bertubuh tinggi itu tetap dengan
cengiran lebarnya.
Baekhyun tak pernah membayangkan,
hal yang selalu diinginkannya akan benar-benar disodorkan ke hadapannya saat
ini. Akan tetapi....
“Tapi... kita tidak saling
kenal....”
“Aku Park Chanyeol. Lahir tanggal
27 November 1992. Golongan darahku A. Kuliah di SM Univ jurusan musik tahun
ke-3. Aku anak tunggal. Eomma dan appa ada di rumah, bersama nenek, tidak jauh
dari sini. Aku punya banyak sepupu. Warna kesukaanku hitam. Aku tidak bisa
masak. Aku suka jenis musik rock dan hip-hop, aku punya band di kampusku dan
hobiku main gitar,” ujar laki-laki bersuara rendah itu panjang lebar. Sepasang
kristalnya menatap cerah raut manis Baekhyun yang hanya bisa terdiam
terbengong-bengong.
“Sekarang kau sudah mengenalku,
kan?” tanyanya dengan senyum manis.
Baekhyun terdiam. Ia tidak
menyangka Chanyeol akan meresponnya seperti itu. “Tapi.. aku... –“ Ia tak bisa
menjelaskan soal dirinya....
“Kau Baekhyun. Aku ingat wajahmu.
Dan aku bisa mengenalimu di tengah keramaian. Itu sudah cukup, kan? Aku sudah
mengenalmu, Baekkie-ah,” tukas Park Chanyeol lagi, tetap tersenyum lebar dan
menatap penuh harap.
Namja mungil itu termangu.
Hatinya mencelos. Entah kenapa perkataan Chanyeol membuatnya tersentuh. Pemuda
itu seolah tak peduli dengan sisi kelamnya, tak peduli dengan keanehannya, tak
peduli meski –
“Tapi.. soal tadi.... –“
“Aku akan menunggu hingga kau mau
menjelaskannya padaku. Kalau tidak ingin dijelaskan, tidak apa-apa. Seperti
yang kubilang, kau Baekhyun dan aku ingat sosokmu. Itu cukup.”
Bertemu pandang dengan sepasang
kristal besar Chanyeol yang menatapnya lurus, Baekhyun harus mengerjapkan
kelopaknya berkali-kali agar tidak tersilaukan oleh paras mempesona itu, juga agar
cairan bening yang terlanjur terbentuk tidak sempat jatuh.
“Kau mau tinggal di sini, kan?”
ulang pemuda tinggi itu. Sinar matanya yang seperti anak kecil membuat Baekhyun
hanya bisa mengangguk pelan.
Saat suara rendah Chanyeol berseru
girang, Baekhyun tak bisa bohong bahwa hatinya terasa begitu hangat.
“Berarti kau harus memanggilku
Hyung, Chanyeol-ssi.”
“MWO!???” Teriakan kaget Chanyeol
yang menatapnya tak percaya tanpa sadar membuat Baekhyun terkekeh pelan.
Apakah ini berarti akhirnya ia memiliki rumah....?
Tempat yang bisa ditujunya untuk pulang....?
.
.
.
A/N: Halo, ketemu lagi sama Allotrpy ^^
Nyoba bikin fluff tapi.. kayaknya
fail ya =__________=;;
Dan entah kenapa aku demen bikin
Baek menderita yaa... huweee.. maafkan aku Baekkie~~ ;;;;_____;;;; Sungguh, ga
bermaksud bashing atau apa, ga bermaksud nge-doain juga... (sedikit curcol, aku
sempet syok dan takut dan ngerasa bersalah banget waktu denger berita Baek
sakit parah, untung cuma hoax ==”) Semoga Baekhyun asli aman, bahagia,
sejahtera, selalu sehat, dan tersenyum dengan tulus :”) – dan makin mesra sama
chanyeol >////> #plak
Regards,
Allotropy
Haha, sequel dong.. FF nya menarik banget Chingu 😊
BalasHapus