Rabu, 20 Maret 2013

[EXO-FANFIC] Senyummu Membawa Luka


Title: Senyummu Membawa Luka
Author: AllotropyEquilibria
Genre: romance
Cast: Kris,Chanyeol, Luhan, Baekhyun, Litz (OC)
Length: oneshot
Rating: PG-13
Disclaimer: member EXO milik Tuhan dan milik diri mereka sendiri.  Saya hanya memiliki OC dan alur cerita ini saja. Ide murni keluar dari sel-sel kelabu dalam otak saya dan terinspirasi dari ucapan seniorku pada seorang pemimpin dalam suatu kepanitiaan yang pernah kuikuti.


.

SENYUMMU MEMBAWA LUKA

.


“Senyummu membawa luka.”

Kris hanya bisa menatap kepergian gadis itu dengan beribu pertanyaan tak terjawab berseliweran dalam benaknya. Ia tak sempat menanyakan arti dari kalimat yang diucapkan gadis itu. Karena gadis itu terlanjur pergi, dan entah kenapa Kris tiba-tiba merasa lidahnya kelu, tak mampu berucap apa-apa.

.

.

.

‘Senyummu membawa luka.’

Litzy memandang kembarannya dengan ekspresi terkejut. “Siapa yang mengatakan itu padamu?” tanyanya.

Sambil menghela napas, Kris menjatuhkan diri di pinggir kasur Litzy, lalu mengangkat bahu. “Kalau tidak salah namanya Yoo Mae.”

Mata Litzy semakin melebar karena kaget. “Yoo Mae? Maksudmu Lee Yoo Mae anak kelas 3 yang jadi perwakilan studi banding ke Jerman itu??”

Siswa SMA yang tampan ini hanya mengangguk, tampak tak begitu peduli. Sejujurnya, dia tak terlalu mempermasalahkan siapa orangnya. Dia hanya penasaran dengan kalimat yang diucapkannya.

“Jadi? Kau tahu artinya tidak, Litz?” Kris menatap saudara kembarnya yang sedang duduk bersandar di atar kasur dengan buku di pangkuannya itu, dengan tatapan bertanya-tanya. Ia mendapati Litzy terdiam sambil menunduk, mungkin sedang berpikir?

‘Kalau Litzy yang sangat melankolis dan suka menggunakan kata-kata berkonotasi yang aneh-aneh itu saja tidak tahu, berarti –‘

Kris tak sempat melanjutkan pemikirannya karena gadis yang memiliki paras identik dengannya itu mengangkat wajahnya. Raut keheranan Kris bertemu dengan mata sendu dan senyum penuh arti dari Sang Saudari.

.

.

.

“Itu kalimat ambigu. Memiliki dua pengertian yang saling bertolak belakang. Pengertian yang pertama...” Litzy menggantung kalimatnya lalu menatap kembarannya dengan senyum jahil. “Sebagai ketua student council, tidak boleh disuapi, kan, Kris?”

Kris hanya mengerutkan alisnya.

“Kalau ingin tahu pengertian yang pertama, coba kamu perhatikan Luhan.”

“Luhan? Xi Luhan teman kita waktu Elementary School itu?”

Litzy mengangguk dan tersenyum.

.

“Luhan ya...?” gumam Kris.

“Kenapa, Duizzhang?” tegur Baekhyun sambil meletakkan tumpukan map berisi laporan pertanggungjawaban dari para ketua ekstrakulikuler, di atas mejanya. “Pagi-pagi begini alismu sudah berkerut-kerut begitu, cepat tua, loh” lanjutnya lagi sambil melirik pimpinannya yang duduk di kursinya sambil melipat wajah.

Jam istirahat itu memang hanya ada mereka berdua di Student Council Room. Sejak tadi Baekhyun memperhatikan Sang Duizzhang yang juga idola di sekolah mereka itu hanya diam melamun.

“Apa ada masalah?” Baekhyun kembali bersuara, kali ini dengan nada serius.

“Ah, ani. Tidak ada apa-apa,” sahut Kris. “Eh – kau lihat Luhan?”

“Luhan kelas 2-3?” tanya Baekhyun memastikan

Kris mengangguk-angguk.

“Kalau tidak salah tadi aku lihat dia di perpustakaan.”

Dengan mantap, Kris pun bangun dari kursinya dan segera berlari meninggalkan ruangan sambil sebelumnya meneriakkan “Gomawo!”

.

.

.

“Ada apa, Kris?” tanya Luhan dengan was-was. Tidak biasanya Sang Duizzhang Student Council ini mencarinya sampai ke perpustakaan. “Ada masalah?”

Pertanyaan siswa dengan kulit putih dan tubuh kecil itu tak mendapat sahutan dari Kris. Ia hanya menatap Luhan dalam diam. Selama beberapa saat, Kris terus memandang wajah manis Luhan sambil terus berusaha mencari tahu apa maksud Litzy.


“Haaahhh.... Aku tidak mengerti!” Akhirnya Kris memutus kontak mata dan menjatuhkan dirinya di kursi di hadapan Luhan. Sebelah tangannya menopang kening. “Litzy sialan!” gerutunya kesal.

Sementara Luhan hanya menatapnya dengan bertanya-tanya. “Apa mereka sedang bertengkar, ya?”

.

.

.

“Kenapa tidak langsung kau jelaskan saja, sih, Litz!?” seru Kris dengan kesal.

Bel tanda istirahat berakhir belum berbunyi, dan Sang Duizzhang menyempatkan diri mengunjungi kembarannya di kelas 2-5. Kehadirannya itu telah membuat suasana menjadi lebih ramai. Bukan saja karena tadi dia berseru dengan suara keras. Akan tetapi, kehadiran sosok tingginya yang mempesona itu sendiri telah banyak menyedot perhatian.

Litzy memandang saudaranya dengan alis terangkat. Ekor matanya mendapati banyak gadis yang menatap Kris dengan nafsu dan tatapan tajam menusuk. Sesuatu hal yang sampai sekarang tak pernah disadari Kris.

Kris itu populer, Litzy tahu pasti hal itu. Dengan mata tajam, tubuh tinggi, kulit putih, sikap yang tegas dan agak dingin, jelas membuat dia disukai banyak yeoja. Apalagi otaknya cerdas dan kharismatik. Jabatan ketua student council yang disandangnya hampir satu semester itu jelas membuat popularitasnya semakin naik.

Namun, Litz tahu pasti bagaimana workaholic-nya Kris. Rasa tanggung jawabnya yang tinggi itu membuat dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada Student Council. Sehingga membuatnya tidak sadar bahwa...

‘...bahwa senyumnya membawa luka,’ lanjut Litz dalam hati.

“Litz!!” Kris berseru semakin kesal karena mendapati kembarannya malah melamun. “Kenapa tidak langsung jelaskan saja?!”

“Kita akan lebih mengerti jika menemukannya sendiri, Kris,” sahut Litzy.

Kris mendecak kesal dan menjatuhkan dirinya di kursi di samping Litzy. Ia tahu, tidak mudah membujuk separuh dirinya itu. Litzy yang keras kepala dan berprinsip kuat itu!?

“Tapi aku tidak mengerti, Litz,” keluh siswa itu. Hanya di hadapan Litzy dia akan bermanja-manja dan bersikap seperti anak kecil begini. Di hadapan Litzy, ia tak perlu sok kuat dan penuh wibawa lagi. Litzy kenal dirinya luar dalam. Meski kadang, ia tak bisa mengerti Litzy sepenuhnya.



“Yang namanya memperhatikan itu berarti mengetahui segala hal tentangnya, mengetahui setiap perubahan kecil yang terjadi padanya, memberikan perhatian lebih padanya, dan peduli pada semua hal yang berhubungan dengannya. Yang namanya memperhatikan itu bertujuan untuk lebih mengenal seseorang,” ujar Litzy.

Kris menatapnya, mencoba menyerap maksud dari kalimat itu.

“Ayolah! Masa Duizzhang Student Council mudah menyerah seperti ini?!” ujar Litzy sambil menepuk bahu adiknya.

“Aish! Iya iya! Tidak usah bawa-bawa jabatan itu segala!” gerutu Kris. Ia berdiri dan melenggang meninggalkan kelas.

.

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 lewat. Hampir setengah jam berlalu sejak bel pulang berbunyi. Akan tetapi, sekolah masih cukup ramai oleh para siswa yang masih betah. Termasuk Kris dan Baekhyun yang kembali mendekam di student council room.

Baekhyun yang sekretaris student council itu sedang mengecek dan mengarsipkan laporan pertanggungjawaban. Sementara Kris, lagi-lagi sedang melamun di kursinya.

“Mengetahui segala hal tentangnya, ya?” gumam Kris. Meski dibilang sebagai teman semasa elementary school, ia tak begitu mengenal Luhan. Itu karena dia dan Litzy di kelas B sementara Luhan di kelas A. Ia mengenalnya karena Luhan adalah peraih peringkat pertama saat ujian akhir, menyeret dia dan Litzy ke peringkat 2 dan 3. Tapi selebihnya, Kris bisa dibilang tak tahu apa-apa tentang Luhan.

Kris bangun dari kursinya dan menghampiri Baekhyun yang sedang bekerja dengan laptop milik student council.

“Baekhyun-ah, coba lihat data siswa,” pintanya.

Baekhyun mendongak menatapnya. “Mau cari tahu tentang siapa?”

“Luhan.”

Sebagai pengurus student council, mereka memang memiliki data semua siswa di SM High ini. Selama beberapa saat, Kris mempelajari data yang diperoleh mengenai Xi Luhan.

“Hmmm.... memang data akademik begini kurang bisa membantu, ya,” gumamnya pada diri sendiri. Ia sudah hendak menyerah ketika matanya mendapati sesuatu yang aneh pada daftar absensi Luhan.

“Dia jarang masuk?” tanyanya pada Baekhyun, dengan kening berkerut.

Siswa mungil dengan mata kecil itu mengangguk. “Hal itu sudah jadi pembicaraan guru-guru. Dia pintar, tapi sering tidak masuk. Sekalinya tidak masuk, bisa sampai 2 minggu. Bahkan lebih,” jelasnya.

Kerutan di kening Kris semakin dalam. “Wae?”

“Aku dengar sih, katanya dia sakit....”

“Sakit?”

“Nde. Malah, aku dengar dari teman sekelasnya, dia tidak tinggal bersama orang tuanya. Orang tuanya di luar negeri, aku tak tahu pasti di mana.”

“Mwo? Lalu, bagaimana....?”

Baekhyun mengangkat bahu. “Kalau ingin dapat info tentang Luhan, tanya Sehun saja. Mereka kan, dekat. Dari kelas1 mereka sekelas.”

“Sehun? Ketua klub dance itu?”

“Nde. Anak-anak klub dance pasti masih di ruang latihan.....”

Tanpa ba-bi-bu lagi, Kris langsung melesat pergi menuju ruang latihan klub dance, meninggalkan Baekhyun yang keheranan.

“Kenapa Kris dari tadi tanya-tanya tentang Luhan terus, ya?”

.

.

.

Siswa dengan wajah dingin yang terkesan ketus itu menatap Sang Duizzhang dengan tatapan dalam. Mungkin ketua klub dance ini ingin menilai apakah siswa di hadapannya bisa dipercaya untuk ia beritahu mengenai hal-hal yang diketahuinya tentang Luhan.

Kris menunggu dengan agak was-was. Ia tahu, jawaban yang akan keluar dari mulut Sehun mungkin akan menjelaskan maksud Litzy.

Akhirnya Sehun memutus kontak mata, menghela napas, dan menyelonjorkan kakinya dengan rileks di lantai yang dingin. Seakan tahu bahwa kedua orang itu hendak membicarakan hal pribadi yang tak ingin diketahui siapapun, orang-orang dengan tertib meninggalkan mereka berdua.

“Ya, dia jarang masuk, karena sakit,” ujar Sehun.

“Sakit apa?”

“Radang ginjal dan usus.”

“Parahkah?”

“Lumayan parah. Kami sering melihatnya meludahkan darah....”

Kris terlihat sangat terkejut. “Kenapa –“

“Dia tidak mau,” Sehun memotong perkataan Kris. “Dia tidak mau dirawat di rumah sakit, dia tidak mau orang-orang tahu bahwa dia sakit.”

Kris mengerutkan keningnya tak mengerti.

“Dia mudah lelah. Kami sudah berusaha membuatnya tak terlalu kelelahan. Tapi... dia senang membuat dirinya sendiri sibuk,” ujar Sehun sambil memberi isyarat ke arah sekretariat klub dance. Di sana, tampak Luhan sedang membereskan ruangan itu.

“Dia tidak mau diperlakukan seperti orang sakit. Dan dia tidak pernah mengeluh bahwa ia sakit,” lanjut Sehun.

“Kalian pernah menjenguknya waktu sakit?” Kris kembali bersuara setelah sejak tadi terdiam.

“Kami pernah mencoba beberapa kali,” sahut Sehun. “Tapi, menjenguknya adalah tindakan yang salah.”

Kris menatapnya tak mengerti.

“Saat kami ke rumahnya, dia malah memaksakan diri dan bersikap seolah dia tidak apa-apa. Dan esoknya, dia akan masuk sekolah. Padahal dia masih sangat lemah dan wajahnya masih sangat pucat seperti mayat hidup.” Sehun menjelaskan. Mata dinginnya terlihat sendu.

Kris juga terdiam. Ia tidak menyangka... Luhan yang ia tahu adalah siswa cerdas bertubuh mungil yang selalu ramah dan ceria dengan tutur kata yang halus dan sopan. Ia tak pernah menyangka bahwa....

“Apa ini penyelidikan dari student council?” tanya Sehun tajam.

Agak terkejut, Kris mendongak menatapnya. Matanya bertemu dengan kristal kembar Sehun yang terlihat waspada dan penuh selidik.

Sambil menghela napas, Kris menunduk dan menjawab perlahan, ”Bukan. Ini penyelidikan dari seorang Kris.”

.

.

.

Dengan benak yang masih penuh dengan percakapan yang baru dilakukannya dengan Sehun tadi, Kris berjalan kembali menuju ruang student council. Saat melewati lorong belakang ruang latihan klub dance, langkah Kris terhenti karena mendengar nama Luhan disebut oleh mereka yang tengah berkumpul di sana.

“Luhan rajin sekali, ya? Beres-beres ruang sekretariat sendirian.”

“Dia memang tidak bisa diam, kan?”

“Tapi, apa dia tidak akan kecapekan nantinya?”

“Aah, Luhan itu kasihan sekali. Aku tidak tega.”

“Tinggal sendirian tanpa orang tua. Lalu ditambah sakitnya itu! Kalau aku yang ada di posisinya, aku pasti tidak akan bisa tersenyum lagi.”

“Kau benar. Kalau aku, pasti bakal muram terus. Tapi dia tidak....”

“Benar juga, ya? Rasanya tidak pernah aku lihat Luhan muram. Pasti selalu tersenyum.”

“Selalu bersikap ceria, seolah dia tidak apa-apa. Padahal kan, pasti sakit....”

“Padahal dia terluka, tapi selalu tersenyum seolah menutupinya....”

Teg.

Kris terkejut. Itukah? Itukah jawabannya?

‘Senyummu membawa luka.’

Dalam senyummu ada luka. Itukah pengertian pertama yang dimaksud Litzy? Itukah sebabnya Litzy memintanya memperhatikan Luhan? Jadi, Litz sudah lebih dulu tahu, bahwa Luhan membawa luka dalam setiap senyumannya?

.

.

.

“Senyummu membawa luka.”

Pengertian pertama: di balik senyuman itu, tersembunyi luka.

“Makanya modelnya Luhan, ya?” gumam Kris. Tapi, Kris tidak merasa dirinya semenderita itu sampai-sampai senyumannya hanyalah topeng untuk menutupi kesedihan. Meski dia sering stress karena masalah di student council, tapi Kris tidak merasa selalu membawa luka dalam senyumannya.

“Kalau begitu, mungkin pengertian yang kedua, ya?”

.

“Kalau ingin tahu pengertian yang kedua, kau harus memperhatikan Chanyeol.”

“Chanyeol? Chanyeol mana?”

“Mana lagi? Chanyeol teman sebangkumu itu!”

.

“Chanyeol, ya?” Kris menoleh menatap teman sebangkunya yang sedang asyik memainkan game di i-pad-nya.

‘Kenapa Chanyeol?’ Sambil bertanya-tanya dalam hati, Kris terus memperhatikan sahabatnya itu.

Merasakan tatapan menusuk Kris, Chanyeol pun menoleh. “Kenapa Kris? Dari tadi terus melihatku, ada yang aneh?” tanyanya.

Bukannya menjawab, Kris malah menyipitkan pandangannya, meneliti dengan seksama wajah Chanyeol.

Mungkin Luhan memang cocok dijadikan model karena dia menyimpan masalah dan kesedihan yang mendalam. Tapi kalau Chanyeol....? Sejak kelas 1, Kris dan Chanyeol selalu sekelas, bahkan selalu sebangku. Dan sepengetahuan Kris, Chanyeol tak memiliki masalah sepelik Luhan, sampai cocok dijadikan modelnya Litzy....

“Kau kenapa, sih, Kris? Tatapanmu tajam sekali. Mengerikan!” ujar Chanyeol meninju pelan bahu Kris.

Kris tak membalas. Ia hanya menghela napas dengan kening yang masih berkerut. “Kenapa harus kau, Chanyeol?” gumamnya.

“Mwo?” Chanyeol menatap temannya tak mengerti.

“Aku tidak mengerti kenapa harus kamu,” ujar Kris tak mempedulikan Chanyeol yang kebingungan.

Kalau perkataan Kris itu membuat Chanyeol mengerutkan keningnya keheranan, sebaliknya, Bo Eun yang tak sengaja mendengar pembicaraan itu menatap mereka dengan sangat terkejut.

“Kris... aku tidak menyangka... Selama ini aku memang sudah curiga. Tapi... aku tidak menyangka... Aku tidak menyangka kalau ternyata kau dan Chanyeol....” Gadis itu tak melanjutkan kata-katanya dan malah berlari keluar kelas dengan heboh. Hampir saja ia menabrak mereka yang baru datang dari kantin sambil membawa makanan.

Chanyeol menatap kepergian Bo Eun dengan wajah bertanya-tanya. “Kenapa dengan Bo Eunnie?” tanyanya kebingungan. Tapi, Kris hanya terdiam sambil berpikir. Sepertinya Sang Duizzhang tak sadar dengan reaksi heboh Bo Eun. Chanyeol hanya menghela napas mendapati sahabatnya yang memang kadang suka tak peka lingkungan itu.

.

.

.

Istirahat siang itu Kris baru kembali dari ruang Student Council saat indera pendengarnya mendengar suara bentakan diiringi dengan gebrakan berbagai macam benda. Instingnya mencium suatu masalah dan membawa tungkai panjangnya memutari ruang kelas dan menuju lorong sepi di dekat gudang.


“Kau jangan besar kepala hanya karena dia baik padamu!”

“Dia tidak mungkin melirik yeoja kutu buku aneh sepertimu! Dia hanya simpati padamu!”

“Sebaiknya kau bercermin! Memanfaatkan tugas untuk berdekatan dengannya! Jangan cari muka! Dia hanya menjalankan tanggung jawabnya!”

“Bukan berarti ia tertarik padamu hanya karena dia memperhatikanmu!”


Kalimat-kalimat bernada pedas yang sesekali diselingi rintihan dan isak perlahan itu semakin jelas terdengar di telinga Kris saat tungkainya semakin mendekati gudang. Ruangan yang terletak di pojok dan sering diabaikan itu terkunci. Tepat di sampingnya, beberapa orang siswi sedang berkumpul. Bahkan dari tempatnya berdiri pun terlihat jelas mereka sedang memojokkan seseorang.

“Kalian sedang apa?” tanya Ketua Student Council ini dengan nada dingin yang berbahaya.

Begitu mendengar suara beratnya, orang-orang itu serentak menoleh ke arahnya. Raut horor dan cemas terpahat jelas di paras mereka. Sebelum digantikan dengan senyum manis dan tampang innocent yang hanya dibalas Kris dengan raut datarnya.

“Ah, Duizzhang. Ani~ Kami hanya mengobrol. Annyeong~” sahut mereka sebelum serempak berlari dengan langkah canggung dan semburat merah di paras cantik berlapis make up itu.

Kris mengikuti kepergian gadis-gadis itu dengan tatapan tajam. Tidak ia sangka kegiatan bullying masih terjadi di jaman seperti ini. Bahkan di sekolahnya, SM High yang elit ini. Bahkan dengan dirinya sebagai Ketua Student Council! Ia harus memikirkan solusi untuk mencegah hal semacam ini terjadi lagi.

Menggerakkan postur jangkungnya menghampiri seorang siswi yang tertinggal di pojok lorong, Kris membungkuk dan mengulurkan tangan. Niatan untuk menyentuh pundak kecil yang terisak itu terhenti di udara karena gadis itu berseru di tengah tangisnya.

“Jangan pedulikan aku jika kau tidak memiliki perasaan padaku, Duizzhang! Kau membuatku salah paham. Kau membuatku merasa spesial....!” ujarnya tanpa menatap pemuda itu, lalu berlari begitu saja. Meninggalkan Kris yang hanya bisa mengerutkan dahi tak mengerti.

Kenapa ia tak boleh menolong orang yang memang bisa ditolongnya? Ia tidak mengerti....


Ketua Student Council ini kembali menuju kelasnya. Dengan pikiran yang masih dipenuhi berbagai pertanyaan, lensanya menangkap sosok Litz berdiri di depan ruang kelasnya. Pemuda ini hendak memanggil Sang Saudari dan kembali mendesaknya untuk menjelaskan saja arti yang kedua, ketika iris kelamnya mendapati separuh jiwanya itu tengah bersama seseorang. Lebih tepatnya sedang berbincang dengan seseorang yang ada di sisi lain pintu kelas.


“Omona, apa yang Chanyeol lakukan padamu?”

“Ani... bukan salahnya... dia memang berhak begitu.... memang haknya untuk tersenyum pada siapapun. Hanya saja... hatiku sakit melihatnya....”


Deg!


Potongan kalimat yang tiba-tiba mencapai telinga dan menyeruak pikirannya itu membuat Kris menghentikan langkah. Irisnya beralih dari sosok Litz pada beberapa orang yeoja yang sedang duduk di kantin – yang letaknya memang sangat dekat dengan ruang kelasnya. Sepasang kristal pemuda berpostur tinggi ini menatap lekat siswi yang tengah berusaha keras menahan air matanya itu lewat jendela.

Apa barusan yang dikatakan yeoja itu? Ia terluka melihat Chanyeol tersenyum?

“Aigoo.. sudahlah, jangan menangis. Chanyeol memang seperti itu.”

“Nde... aku paham dia memang baik pada siapapun.. tapi... sakit sekali... Kupikir sikapnya padaku spesial... ternyata tidak... ia tersenyum dengan cara yang sama pada siapapun... Karena berharap macam-macam, aku jadi terluka... memang aku yang bodoh....”


Kris tertegun di tempatnya berdiri. Itukah arti kedua?

Senyummu membawa luka.... pada orang lain?

Sepasang kristal kelam pemuda ini melebar seiring ingatannya memutar lagi kejadian beberapa saat lalu. ‘Jangan pedulikan aku jika kau tak memiliki perasaan padaku’ Kenapa? ‘Karena senyummu... memberi harapan yang sebenarnya tak ada...?’

Begitukah?

Begitukah artinya?

Merasakan belitan pertanyaan di sel kelabu otaknya terurai dengan halus, Kris mempercepat langkahnya menghampiri Litz yang masih berdiri di depan kelasnya. Namun, lagi-lagi langkah kaki pemuda ini terhenti.

Bukan, bukan posisi mereka yang menghalangi jalan masuk itu yang membuat siswa berparas serius ini tertegun. Bukan juga karena yang sedang menjadi lawan bicara Litzy ternyata Chanyeol. Bukan. Duizzhang Student Council ini menghentikan langkahnya di tengah lorong karena lensanya menangkap sesuatu yang tak pernah dilihatnya pada raut Sang Saudari. Pada sepasang kristal yang kini memancarkan sinar yang berbeda dengan yang biasa ditunjukkannya di rumah.

Sebuah pemahaman lain membuat Kris hanya terdiam mematung. Menatap separuh dirinya tertawa bersama Chanyeol, hingga bel masuk berbunyi.

.

.

.

Angin sore yang berhembus perlahan membelai surai pirang Litz yang menumpukan bobot tubuhnya pada pagar besi bercat tembaga itu. Memejamkan mata, gadis ini tersenyum menyadari keberadaan seorang lain di balkon kamarnya.

“Kau sudah menemukan jawabannya?” tanya gadis ini tanpa membuka mata.

“Mianhe....” sahut pemuda yang ternyata adalah Kris itu.

Litz terkekeh dan menatap kembarannya. “Kenapa tiba-tiba minta maaf?”

Pemuda bertubuh atletis itu mengangkat bahu dan ikut menyandarkan punggung di sebelah Litz. “Karena telah membuat kalian terluka?” sahutnya tetap dengan paras dinginnya. Meski begitu, Litz tahu saudaranya ini sebetulnya tengah menyembunyikan raut sedihnya.

Gadis bersurai panjang itu terkekeh perlahan. “Kami terluka, bukan salah kalian.... Meski senyum itu bukan hanya milik kami, kami tetap bahagia menerimanya. Makanya, tetaplah beri kami senyuman itu,” ujarnya sambil menatap adik kembarnya dengan tatapan halus. Bibir tipisnya sendiri mengulas senyum.

Kris terdiam dan hanya mengerutkan alisnya dalam.

“Apakah... kami harus berhenti tersenyum agar.. kalian tak lagi terluka?” Suara dalam Kris kembali terdengar setelah beberapa saat hanya desau angin yang mengisi ruang di antara mereka.

“Pabbo. Kalau kalian berhenti tersenyum, kami akan semakin terluka,” sahut Litz.

Kris mendesah. “Yeoja itu rumit sekali,” keluhnya.

Litz kembali tertawa pelan.

Lagi, laki-laki berahang kuat itu terdiam dan membiarkan keheningan menyelinap di antara mereka. Hanya melarikan lensanya pada dedaunan di pohon halaman belakang. “Kenapa kau tak pernah memberitahuku?”

“Hm?” Litz menatap adik kembarnya heran.

“Bahwa kau juga terluka....”

Sepasang kristal gadis itu terlihat melebar sesaat sebelum kembali menjadi sendu. “Jadi, kau akhirnya menyadari hal itu juga?”

Kris melirik saudaranya tajam. “Saudara macam apa kau, menyembunyikan hal semacam itu!?” gerutunya. Mendapati Litz hanya terkekeh sebagai tanggapan, Kris mengacak surai pirangnya kesal. “Aaaah!! Kenapa aku jadi terbawa melankolis sepertimu. Hissh...!”

“Tidak apa-apa, kan? Sekali-sekali. Sepertinya aku harus berterimakasih pada Yoo Mae-eonnie karena sudah membuat Duizzhang Kris yang tidak pernah peka itu akhirnya menyadari hal ini. Hahaha.”

“Tsk.”

“Ngomong-ngomong... aku akan mengalah jika lawanku adalah kau,” ucap Litz tiba-tiba.

Kris memandangnya tak mengerti. “Hah? Lawan apa?” tanyanya bingung.

“Serius. Aku akan mundur jika kau yang bersamanya,” ujar gadis itu lagi sambil menatap separuh dirinya itu dengan tatapan penuh arti dan kilat jahil di lensanya.

Mengerutkan kening, Kris berusaha menyerap ke mana arah pembicaraan saudarinya ini. Siapa? Tidak mungkin –!!

“Sungguh, kalian pasangan yang cocok! Pantas saja dari kelas satu sampai sekarang kalian tak terpisahkan!”

“LITZ!!!” Pemuda beriris tajam ini menatap gadis di hadapannya dengan kesal. Raut dinginnya semakin menekuk melihat saudarinya itu malah tertawa semakin keras.

“Salahmu sendiri mengatakan hal ambigu di hadapan Bo Eun. Hahahaha!”

“Tsk. Sial. Awas saja kalau kau menyebarkan gosip aneh-aneh. Haish!”

Masih terkekeh, Litz mengacak surai pirang Kris yang sedikit gondrong. Kris menepis jemari itu dan membawa tubuh tingginya meninggalkan balkon. “Kau harus meluruskan salah paham itu pada Bo Eun! Aku dan Chanyeol??! Haisshh! Micheoso!?” gerutunya.

Gadis bersurai panjang itu menatap punggung lebar Sang Adik menghilang ke dalam rumah dengan senyum masih terukir di wajahnya.

Senyummu memang membawa luka, tapi kami lebih memilih untuk terluka daripada sama sekali tak melihat senyum kalian....

Karena itu... tetaplah tersenyum....

.

.

.

END

.

.

.

A/N: yak ga tau ah ini cerita emang aneh banget huhuhu *mojok sama baekyeol*
Aku emang ga cocok bikin ff straight yaaa huahahaha..
Ya udah lah.

Semoga ga kapok baca cerita-cerita buatanku u,u

Regards,

Allotropy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar