Title:
Senyummu Membawa Luka
Author:
AllotropyEquilibria
Genre:
romance
Cast:
Kris,Chanyeol, Luhan, Baekhyun, Litz (OC)
Length:
oneshot
Rating:
PG-13
Disclaimer:
member EXO milik Tuhan dan milik diri mereka sendiri. Saya hanya memiliki OC dan alur cerita ini
saja. Ide murni keluar dari sel-sel kelabu dalam otak saya dan terinspirasi
dari ucapan seniorku pada seorang pemimpin dalam suatu kepanitiaan yang pernah
kuikuti.
.
SENYUMMU
MEMBAWA LUKA
.
“Senyummu
membawa luka.”
Kris hanya bisa menatap
kepergian gadis itu dengan beribu pertanyaan tak terjawab berseliweran dalam
benaknya. Ia tak sempat menanyakan arti dari kalimat yang diucapkan gadis itu.
Karena gadis itu terlanjur pergi, dan entah kenapa Kris tiba-tiba merasa
lidahnya kelu, tak mampu berucap apa-apa.
.
.
.
‘Senyummu
membawa luka.’
Litzy memandang
kembarannya dengan ekspresi terkejut. “Siapa yang mengatakan itu padamu?”
tanyanya.
Sambil menghela napas,
Kris menjatuhkan diri di pinggir kasur Litzy, lalu mengangkat bahu. “Kalau
tidak salah namanya Yoo Mae.”
Mata Litzy semakin
melebar karena kaget. “Yoo Mae? Maksudmu Lee Yoo Mae anak kelas 3 yang jadi
perwakilan studi banding ke Jerman itu??”
Siswa SMA yang tampan
ini hanya mengangguk, tampak tak begitu peduli. Sejujurnya, dia tak terlalu mempermasalahkan
siapa orangnya. Dia hanya penasaran dengan kalimat yang diucapkannya.
“Jadi? Kau tahu artinya
tidak, Litz?” Kris menatap saudara kembarnya yang sedang duduk bersandar di
atar kasur dengan buku di pangkuannya itu, dengan tatapan bertanya-tanya. Ia
mendapati Litzy terdiam sambil menunduk, mungkin sedang berpikir?
‘Kalau
Litzy yang sangat melankolis dan suka menggunakan kata-kata berkonotasi yang
aneh-aneh itu saja tidak tahu, berarti –‘
Kris tak sempat
melanjutkan pemikirannya karena gadis yang memiliki paras identik dengannya itu
mengangkat wajahnya. Raut keheranan Kris bertemu dengan mata sendu dan senyum
penuh arti dari Sang Saudari.
.
.
.
“Itu
kalimat ambigu. Memiliki dua pengertian yang saling bertolak belakang.
Pengertian yang pertama...” Litzy menggantung kalimatnya lalu menatap
kembarannya dengan senyum jahil. “Sebagai ketua student council, tidak boleh
disuapi, kan, Kris?”
Kris
hanya mengerutkan alisnya.
“Kalau
ingin tahu pengertian yang pertama, coba kamu perhatikan Luhan.”
“Luhan?
Xi Luhan teman kita waktu Elementary School itu?”
Litzy
mengangguk dan tersenyum.
.
“Luhan ya...?” gumam
Kris.
“Kenapa, Duizzhang?”
tegur Baekhyun sambil meletakkan tumpukan map berisi laporan pertanggungjawaban
dari para ketua ekstrakulikuler, di atas mejanya. “Pagi-pagi begini alismu
sudah berkerut-kerut begitu, cepat tua, loh” lanjutnya lagi sambil melirik
pimpinannya yang duduk di kursinya sambil melipat wajah.
Jam istirahat itu
memang hanya ada mereka berdua di Student Council Room. Sejak tadi Baekhyun
memperhatikan Sang Duizzhang yang juga idola di sekolah mereka itu hanya diam
melamun.
“Apa ada masalah?”
Baekhyun kembali bersuara, kali ini dengan nada serius.
“Ah, ani. Tidak ada
apa-apa,” sahut Kris. “Eh – kau lihat Luhan?”
“Luhan kelas 2-3?”
tanya Baekhyun memastikan
Kris mengangguk-angguk.
“Kalau tidak salah tadi
aku lihat dia di perpustakaan.”
Dengan mantap, Kris pun
bangun dari kursinya dan segera berlari meninggalkan ruangan sambil sebelumnya
meneriakkan “Gomawo!”
.
.
.
“Ada apa, Kris?” tanya
Luhan dengan was-was. Tidak biasanya Sang Duizzhang Student Council ini
mencarinya sampai ke perpustakaan. “Ada masalah?”
Pertanyaan siswa dengan
kulit putih dan tubuh kecil itu tak mendapat sahutan dari Kris. Ia hanya
menatap Luhan dalam diam. Selama beberapa saat, Kris terus memandang wajah
manis Luhan sambil terus berusaha mencari tahu apa maksud Litzy.
“Haaahhh.... Aku tidak mengerti!” Akhirnya Kris memutus kontak mata dan menjatuhkan dirinya di kursi di hadapan Luhan. Sebelah tangannya menopang kening. “Litzy sialan!” gerutunya kesal.
Sementara Luhan hanya
menatapnya dengan bertanya-tanya. “Apa mereka sedang bertengkar, ya?”
.
.
.
“Kenapa tidak langsung
kau jelaskan saja, sih, Litz!?” seru Kris dengan kesal.
Bel tanda istirahat
berakhir belum berbunyi, dan Sang Duizzhang menyempatkan diri mengunjungi
kembarannya di kelas 2-5. Kehadirannya itu telah membuat suasana menjadi lebih
ramai. Bukan saja karena tadi dia berseru dengan suara keras. Akan tetapi,
kehadiran sosok tingginya yang mempesona itu sendiri telah banyak menyedot
perhatian.
Litzy memandang
saudaranya dengan alis terangkat. Ekor matanya mendapati banyak gadis yang
menatap Kris dengan nafsu dan tatapan
tajam menusuk. Sesuatu hal yang sampai sekarang tak pernah disadari Kris.
Kris itu populer, Litzy
tahu pasti hal itu. Dengan mata tajam, tubuh tinggi, kulit putih, sikap yang
tegas dan agak dingin, jelas membuat dia disukai banyak yeoja. Apalagi otaknya
cerdas dan kharismatik. Jabatan ketua student council yang disandangnya hampir
satu semester itu jelas membuat popularitasnya semakin naik.
Namun, Litz tahu pasti
bagaimana workaholic-nya Kris. Rasa tanggung jawabnya yang tinggi itu membuat
dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada Student Council. Sehingga membuatnya
tidak sadar bahwa...
‘...bahwa
senyumnya membawa luka,’ lanjut Litz dalam hati.
“Litz!!” Kris berseru
semakin kesal karena mendapati kembarannya malah melamun. “Kenapa tidak langsung
jelaskan saja?!”
“Kita akan lebih
mengerti jika menemukannya sendiri, Kris,” sahut Litzy.
Kris mendecak kesal dan
menjatuhkan dirinya di kursi di samping Litzy. Ia tahu, tidak mudah membujuk
separuh dirinya itu. Litzy yang keras
kepala dan berprinsip kuat itu!?
“Tapi aku tidak
mengerti, Litz,” keluh siswa itu. Hanya di hadapan Litzy dia akan
bermanja-manja dan bersikap seperti anak kecil begini. Di hadapan Litzy, ia tak
perlu sok kuat dan penuh wibawa lagi. Litzy kenal dirinya luar dalam. Meski
kadang, ia tak bisa mengerti Litzy sepenuhnya.
“Yang namanya
memperhatikan itu berarti mengetahui segala hal tentangnya, mengetahui setiap
perubahan kecil yang terjadi padanya, memberikan perhatian lebih padanya, dan
peduli pada semua hal yang berhubungan dengannya. Yang namanya memperhatikan
itu bertujuan untuk lebih mengenal seseorang,” ujar Litzy.
Kris menatapnya,
mencoba menyerap maksud dari kalimat itu.
“Ayolah! Masa Duizzhang
Student Council mudah menyerah seperti ini?!” ujar Litzy sambil menepuk bahu
adiknya.
“Aish! Iya iya! Tidak
usah bawa-bawa jabatan itu segala!” gerutu Kris. Ia berdiri dan melenggang
meninggalkan kelas.
.
.
.
Waktu sudah menunjukkan
pukul setengah 4 lewat. Hampir setengah jam berlalu sejak bel pulang berbunyi.
Akan tetapi, sekolah masih cukup ramai oleh para siswa yang masih betah.
Termasuk Kris dan Baekhyun yang kembali mendekam di student council room.
Baekhyun yang
sekretaris student council itu sedang mengecek dan mengarsipkan laporan
pertanggungjawaban. Sementara Kris, lagi-lagi sedang melamun di kursinya.
“Mengetahui segala hal
tentangnya, ya?” gumam Kris. Meski dibilang sebagai teman semasa elementary
school, ia tak begitu mengenal Luhan. Itu karena dia dan Litzy di kelas B
sementara Luhan di kelas A. Ia mengenalnya karena Luhan adalah peraih peringkat
pertama saat ujian akhir, menyeret dia dan Litzy ke peringkat 2 dan 3. Tapi
selebihnya, Kris bisa dibilang tak tahu apa-apa tentang Luhan.
Kris bangun dari
kursinya dan menghampiri Baekhyun yang sedang bekerja dengan laptop milik
student council.
“Baekhyun-ah, coba
lihat data siswa,” pintanya.
Baekhyun mendongak
menatapnya. “Mau cari tahu tentang siapa?”
“Luhan.”
Sebagai pengurus
student council, mereka memang memiliki data semua siswa di SM High ini. Selama
beberapa saat, Kris mempelajari data yang diperoleh mengenai Xi Luhan.
“Hmmm.... memang data
akademik begini kurang bisa membantu, ya,” gumamnya pada diri sendiri. Ia sudah
hendak menyerah ketika matanya mendapati sesuatu yang aneh pada daftar absensi
Luhan.
“Dia jarang masuk?”
tanyanya pada Baekhyun, dengan kening berkerut.
Siswa mungil dengan
mata kecil itu mengangguk. “Hal itu sudah jadi pembicaraan guru-guru. Dia
pintar, tapi sering tidak masuk. Sekalinya tidak masuk, bisa sampai 2 minggu. Bahkan
lebih,” jelasnya.
Kerutan di kening Kris
semakin dalam. “Wae?”
“Aku dengar sih,
katanya dia sakit....”
“Sakit?”
“Nde. Malah, aku dengar
dari teman sekelasnya, dia tidak tinggal bersama orang tuanya. Orang tuanya di
luar negeri, aku tak tahu pasti di mana.”
“Mwo? Lalu,
bagaimana....?”
Baekhyun mengangkat
bahu. “Kalau ingin dapat info tentang Luhan, tanya Sehun saja. Mereka kan,
dekat. Dari kelas1 mereka sekelas.”
“Sehun? Ketua klub
dance itu?”
“Nde. Anak-anak klub dance
pasti masih di ruang latihan.....”
Tanpa ba-bi-bu lagi,
Kris langsung melesat pergi menuju ruang latihan klub dance, meninggalkan
Baekhyun yang keheranan.
“Kenapa Kris dari tadi
tanya-tanya tentang Luhan terus, ya?”
.
.
.
Siswa dengan wajah
dingin yang terkesan ketus itu menatap Sang Duizzhang dengan tatapan dalam.
Mungkin ketua klub dance ini ingin menilai apakah siswa di hadapannya bisa
dipercaya untuk ia beritahu mengenai hal-hal yang diketahuinya tentang Luhan.
Kris menunggu dengan
agak was-was. Ia tahu, jawaban yang akan keluar dari mulut Sehun mungkin akan
menjelaskan maksud Litzy.
Akhirnya Sehun memutus
kontak mata, menghela napas, dan menyelonjorkan kakinya dengan rileks di lantai
yang dingin. Seakan tahu bahwa kedua orang itu hendak membicarakan hal pribadi
yang tak ingin diketahui siapapun, orang-orang dengan tertib meninggalkan
mereka berdua.
“Ya, dia jarang masuk,
karena sakit,” ujar Sehun.
“Sakit apa?”
“Radang ginjal dan
usus.”
“Parahkah?”
“Lumayan parah. Kami
sering melihatnya meludahkan darah....”
Kris terlihat sangat
terkejut. “Kenapa –“
“Dia tidak mau,” Sehun
memotong perkataan Kris. “Dia tidak mau dirawat di rumah sakit, dia tidak mau
orang-orang tahu bahwa dia sakit.”
Kris mengerutkan
keningnya tak mengerti.
“Dia mudah lelah. Kami
sudah berusaha membuatnya tak terlalu kelelahan. Tapi... dia senang membuat
dirinya sendiri sibuk,” ujar Sehun sambil memberi isyarat ke arah sekretariat
klub dance. Di sana, tampak Luhan sedang membereskan ruangan itu.
“Dia tidak mau
diperlakukan seperti orang sakit. Dan dia tidak pernah mengeluh bahwa ia
sakit,” lanjut Sehun.
“Kalian pernah
menjenguknya waktu sakit?” Kris kembali bersuara setelah sejak tadi terdiam.
“Kami pernah mencoba
beberapa kali,” sahut Sehun. “Tapi, menjenguknya adalah tindakan yang salah.”
Kris menatapnya tak
mengerti.
“Saat kami ke rumahnya,
dia malah memaksakan diri dan bersikap seolah dia tidak apa-apa. Dan esoknya,
dia akan masuk sekolah. Padahal dia masih sangat lemah dan wajahnya masih
sangat pucat seperti mayat hidup.” Sehun menjelaskan. Mata dinginnya terlihat
sendu.
Kris juga terdiam. Ia
tidak menyangka... Luhan yang ia tahu adalah siswa cerdas bertubuh mungil yang
selalu ramah dan ceria dengan tutur kata yang halus dan sopan. Ia tak pernah
menyangka bahwa....
“Apa ini penyelidikan
dari student council?” tanya Sehun tajam.
Agak terkejut, Kris
mendongak menatapnya. Matanya bertemu dengan kristal kembar Sehun yang terlihat
waspada dan penuh selidik.
Sambil menghela napas,
Kris menunduk dan menjawab perlahan, ”Bukan. Ini penyelidikan dari seorang
Kris.”
.
.
.
Dengan benak yang masih
penuh dengan percakapan yang baru dilakukannya dengan Sehun tadi, Kris berjalan
kembali menuju ruang student council. Saat melewati lorong belakang ruang
latihan klub dance, langkah Kris terhenti karena mendengar nama Luhan disebut
oleh mereka yang tengah berkumpul di sana.
“Luhan rajin sekali,
ya? Beres-beres ruang sekretariat sendirian.”
“Dia memang tidak bisa
diam, kan?”
“Tapi, apa dia tidak
akan kecapekan nantinya?”
“Aah, Luhan itu kasihan
sekali. Aku tidak tega.”
“Tinggal sendirian
tanpa orang tua. Lalu ditambah sakitnya itu! Kalau aku yang ada di posisinya,
aku pasti tidak akan bisa tersenyum lagi.”
“Kau benar. Kalau aku,
pasti bakal muram terus. Tapi dia tidak....”
“Benar juga, ya? Rasanya
tidak pernah aku lihat Luhan muram. Pasti selalu tersenyum.”
“Selalu bersikap ceria,
seolah dia tidak apa-apa. Padahal kan, pasti sakit....”
“Padahal dia terluka,
tapi selalu tersenyum seolah menutupinya....”
Teg.
Kris terkejut. Itukah? Itukah jawabannya?
‘Senyummu
membawa luka.’
Dalam senyummu ada
luka. Itukah pengertian pertama yang dimaksud Litzy? Itukah sebabnya Litzy
memintanya memperhatikan Luhan? Jadi, Litz sudah lebih dulu tahu, bahwa Luhan
membawa luka dalam setiap senyumannya?
.
.
.
“Senyummu
membawa luka.”
Pengertian pertama: di
balik senyuman itu, tersembunyi luka.
“Makanya modelnya
Luhan, ya?” gumam Kris. Tapi, Kris tidak merasa dirinya semenderita itu
sampai-sampai senyumannya hanyalah topeng untuk menutupi kesedihan. Meski dia
sering stress karena masalah di student council, tapi Kris tidak merasa selalu
membawa luka dalam senyumannya.
“Kalau begitu, mungkin
pengertian yang kedua, ya?”
.
“Kalau
ingin tahu pengertian yang kedua, kau harus memperhatikan Chanyeol.”
“Chanyeol?
Chanyeol mana?”
“Mana
lagi? Chanyeol teman sebangkumu itu!”
.
“Chanyeol, ya?” Kris
menoleh menatap teman sebangkunya yang sedang asyik memainkan game di i-pad-nya.
‘Kenapa
Chanyeol?’ Sambil bertanya-tanya dalam hati, Kris terus
memperhatikan sahabatnya itu.
Merasakan tatapan
menusuk Kris, Chanyeol pun menoleh. “Kenapa Kris? Dari tadi terus melihatku,
ada yang aneh?” tanyanya.
Bukannya menjawab, Kris
malah menyipitkan pandangannya, meneliti dengan seksama wajah Chanyeol.
Mungkin Luhan memang
cocok dijadikan model karena dia menyimpan masalah dan kesedihan yang mendalam.
Tapi kalau Chanyeol....? Sejak kelas 1, Kris dan Chanyeol selalu sekelas,
bahkan selalu sebangku. Dan sepengetahuan Kris, Chanyeol tak memiliki masalah
sepelik Luhan, sampai cocok dijadikan modelnya Litzy....
“Kau kenapa, sih, Kris?
Tatapanmu tajam sekali. Mengerikan!” ujar Chanyeol meninju pelan bahu Kris.
Kris tak membalas. Ia
hanya menghela napas dengan kening yang masih berkerut. “Kenapa harus kau,
Chanyeol?” gumamnya.
“Mwo?” Chanyeol menatap
temannya tak mengerti.
“Aku tidak mengerti
kenapa harus kamu,” ujar Kris tak mempedulikan Chanyeol yang kebingungan.
Kalau perkataan Kris
itu membuat Chanyeol mengerutkan keningnya keheranan, sebaliknya, Bo Eun yang
tak sengaja mendengar pembicaraan itu menatap mereka dengan sangat terkejut.
“Kris... aku tidak
menyangka... Selama ini aku memang sudah curiga. Tapi... aku tidak menyangka...
Aku tidak menyangka kalau ternyata kau dan Chanyeol....” Gadis itu tak
melanjutkan kata-katanya dan malah berlari keluar kelas dengan heboh. Hampir
saja ia menabrak mereka yang baru datang dari kantin sambil membawa makanan.
Chanyeol menatap
kepergian Bo Eun dengan wajah bertanya-tanya. “Kenapa dengan Bo Eunnie?”
tanyanya kebingungan. Tapi, Kris hanya terdiam sambil berpikir. Sepertinya Sang
Duizzhang tak sadar dengan reaksi heboh Bo Eun. Chanyeol hanya menghela napas
mendapati sahabatnya yang memang kadang suka tak peka lingkungan itu.
.
.
.
Istirahat siang itu Kris
baru kembali dari ruang Student Council saat indera pendengarnya mendengar
suara bentakan diiringi dengan gebrakan berbagai macam benda. Instingnya
mencium suatu masalah dan membawa tungkai panjangnya memutari ruang kelas dan
menuju lorong sepi di dekat gudang.
“Kau jangan besar
kepala hanya karena dia baik padamu!”
“Dia tidak mungkin
melirik yeoja kutu buku aneh sepertimu! Dia hanya simpati padamu!”
“Sebaiknya kau
bercermin! Memanfaatkan tugas untuk berdekatan dengannya! Jangan cari muka! Dia
hanya menjalankan tanggung jawabnya!”
“Bukan berarti ia
tertarik padamu hanya karena dia memperhatikanmu!”
Kalimat-kalimat bernada
pedas yang sesekali diselingi rintihan dan isak perlahan itu semakin jelas
terdengar di telinga Kris saat tungkainya semakin mendekati gudang. Ruangan yang
terletak di pojok dan sering diabaikan itu terkunci. Tepat di sampingnya,
beberapa orang siswi sedang berkumpul. Bahkan dari tempatnya berdiri pun
terlihat jelas mereka sedang memojokkan seseorang.
“Kalian sedang apa?”
tanya Ketua Student Council ini dengan nada dingin yang berbahaya.
Begitu mendengar suara
beratnya, orang-orang itu serentak menoleh ke arahnya. Raut horor dan cemas
terpahat jelas di paras mereka. Sebelum digantikan dengan senyum manis dan
tampang innocent yang hanya dibalas
Kris dengan raut datarnya.
“Ah, Duizzhang. Ani~
Kami hanya mengobrol. Annyeong~” sahut mereka sebelum serempak berlari dengan
langkah canggung dan semburat merah di paras cantik berlapis make up itu.
Kris mengikuti
kepergian gadis-gadis itu dengan tatapan tajam. Tidak ia sangka kegiatan bullying masih terjadi di jaman seperti
ini. Bahkan di sekolahnya, SM High yang elit ini. Bahkan dengan dirinya sebagai
Ketua Student Council! Ia harus memikirkan solusi untuk mencegah hal semacam
ini terjadi lagi.
Menggerakkan postur
jangkungnya menghampiri seorang siswi yang tertinggal di pojok lorong, Kris
membungkuk dan mengulurkan tangan. Niatan untuk menyentuh pundak kecil yang
terisak itu terhenti di udara karena gadis itu berseru di tengah tangisnya.
“Jangan pedulikan aku
jika kau tidak memiliki perasaan padaku, Duizzhang! Kau membuatku salah paham.
Kau membuatku merasa spesial....!” ujarnya tanpa menatap pemuda itu, lalu
berlari begitu saja. Meninggalkan Kris yang hanya bisa mengerutkan dahi tak
mengerti.
Kenapa
ia tak boleh menolong orang yang memang bisa ditolongnya? Ia tidak mengerti....
Ketua Student Council
ini kembali menuju kelasnya. Dengan pikiran yang masih dipenuhi berbagai
pertanyaan, lensanya menangkap sosok Litz berdiri di depan ruang kelasnya.
Pemuda ini hendak memanggil Sang Saudari dan kembali mendesaknya untuk
menjelaskan saja arti yang kedua, ketika iris kelamnya mendapati separuh jiwanya
itu tengah bersama seseorang. Lebih tepatnya sedang berbincang dengan seseorang
yang ada di sisi lain pintu kelas.
“Omona, apa yang
Chanyeol lakukan padamu?”
“Ani... bukan
salahnya... dia memang berhak begitu.... memang haknya untuk tersenyum pada
siapapun. Hanya saja... hatiku sakit melihatnya....”
Deg!
Potongan kalimat yang tiba-tiba
mencapai telinga dan menyeruak pikirannya itu membuat Kris menghentikan
langkah. Irisnya beralih dari sosok Litz pada beberapa orang yeoja yang sedang
duduk di kantin – yang letaknya memang sangat dekat dengan ruang kelasnya. Sepasang
kristal pemuda berpostur tinggi ini menatap lekat siswi yang tengah berusaha
keras menahan air matanya itu lewat jendela.
Apa
barusan yang dikatakan yeoja itu? Ia terluka melihat Chanyeol tersenyum?
“Aigoo.. sudahlah,
jangan menangis. Chanyeol memang seperti itu.”
“Nde... aku paham dia
memang baik pada siapapun.. tapi... sakit sekali... Kupikir sikapnya padaku
spesial... ternyata tidak... ia tersenyum dengan cara yang sama pada
siapapun... Karena berharap macam-macam, aku jadi terluka... memang aku yang
bodoh....”
Kris tertegun di
tempatnya berdiri. Itukah arti kedua?
Senyummu
membawa luka.... pada orang lain?
Sepasang kristal kelam
pemuda ini melebar seiring ingatannya memutar lagi kejadian beberapa saat lalu.
‘Jangan pedulikan aku jika kau tak
memiliki perasaan padaku’ Kenapa? ‘Karena
senyummu... memberi harapan yang sebenarnya tak ada...?’
Begitukah?
Begitukah
artinya?
Merasakan belitan
pertanyaan di sel kelabu otaknya terurai dengan halus, Kris mempercepat
langkahnya menghampiri Litz yang masih berdiri di depan kelasnya. Namun,
lagi-lagi langkah kaki pemuda ini terhenti.
Bukan, bukan posisi
mereka yang menghalangi jalan masuk itu yang membuat siswa berparas serius ini
tertegun. Bukan juga karena yang sedang menjadi lawan bicara Litzy ternyata
Chanyeol. Bukan. Duizzhang Student Council ini menghentikan langkahnya di
tengah lorong karena lensanya menangkap sesuatu yang tak pernah dilihatnya pada
raut Sang Saudari. Pada sepasang kristal yang kini memancarkan sinar yang
berbeda dengan yang biasa ditunjukkannya di rumah.
Sebuah pemahaman lain
membuat Kris hanya terdiam mematung. Menatap separuh dirinya tertawa bersama
Chanyeol, hingga bel masuk berbunyi.
.
.
.
Angin sore yang
berhembus perlahan membelai surai pirang Litz yang menumpukan bobot tubuhnya
pada pagar besi bercat tembaga itu. Memejamkan mata, gadis ini tersenyum
menyadari keberadaan seorang lain di balkon kamarnya.
“Kau sudah menemukan
jawabannya?” tanya gadis ini tanpa membuka mata.
“Mianhe....” sahut
pemuda yang ternyata adalah Kris itu.
Litz terkekeh dan
menatap kembarannya. “Kenapa tiba-tiba minta maaf?”
Pemuda bertubuh atletis
itu mengangkat bahu dan ikut menyandarkan punggung di sebelah Litz. “Karena
telah membuat kalian terluka?” sahutnya tetap dengan paras dinginnya. Meski
begitu, Litz tahu saudaranya ini sebetulnya tengah menyembunyikan raut
sedihnya.
Gadis bersurai panjang
itu terkekeh perlahan. “Kami terluka, bukan salah kalian.... Meski senyum itu
bukan hanya milik kami, kami tetap bahagia menerimanya. Makanya, tetaplah beri
kami senyuman itu,” ujarnya sambil menatap adik kembarnya dengan tatapan halus.
Bibir tipisnya sendiri mengulas senyum.
Kris terdiam dan hanya
mengerutkan alisnya dalam.
“Apakah... kami harus
berhenti tersenyum agar.. kalian tak lagi terluka?” Suara dalam Kris kembali
terdengar setelah beberapa saat hanya desau angin yang mengisi ruang di antara
mereka.
“Pabbo. Kalau kalian
berhenti tersenyum, kami akan semakin terluka,” sahut Litz.
Kris mendesah. “Yeoja
itu rumit sekali,” keluhnya.
Litz kembali tertawa
pelan.
Lagi, laki-laki
berahang kuat itu terdiam dan membiarkan keheningan menyelinap di antara mereka.
Hanya melarikan lensanya pada dedaunan di pohon halaman belakang. “Kenapa kau
tak pernah memberitahuku?”
“Hm?” Litz menatap adik
kembarnya heran.
“Bahwa kau juga
terluka....”
Sepasang kristal gadis
itu terlihat melebar sesaat sebelum kembali menjadi sendu. “Jadi, kau akhirnya
menyadari hal itu juga?”
Kris melirik saudaranya
tajam. “Saudara macam apa kau, menyembunyikan hal semacam itu!?” gerutunya.
Mendapati Litz hanya terkekeh sebagai tanggapan, Kris mengacak surai pirangnya
kesal. “Aaaah!! Kenapa aku jadi terbawa melankolis sepertimu. Hissh...!”
“Tidak apa-apa, kan?
Sekali-sekali. Sepertinya aku harus berterimakasih pada Yoo Mae-eonnie karena
sudah membuat Duizzhang Kris yang tidak pernah peka itu akhirnya menyadari hal
ini. Hahaha.”
“Tsk.”
“Ngomong-ngomong... aku
akan mengalah jika lawanku adalah kau,” ucap Litz tiba-tiba.
Kris memandangnya tak mengerti.
“Hah? Lawan apa?” tanyanya bingung.
“Serius. Aku akan
mundur jika kau yang bersamanya,” ujar gadis itu lagi sambil menatap separuh
dirinya itu dengan tatapan penuh arti dan kilat jahil di lensanya.
Mengerutkan kening,
Kris berusaha menyerap ke mana arah pembicaraan saudarinya ini. Siapa? Tidak mungkin –!!
“Sungguh, kalian
pasangan yang cocok! Pantas saja dari kelas satu sampai sekarang kalian tak
terpisahkan!”
“LITZ!!!” Pemuda
beriris tajam ini menatap gadis di hadapannya dengan kesal. Raut dinginnya
semakin menekuk melihat saudarinya itu malah tertawa semakin keras.
“Salahmu sendiri
mengatakan hal ambigu di hadapan Bo Eun. Hahahaha!”
“Tsk. Sial. Awas saja
kalau kau menyebarkan gosip aneh-aneh. Haish!”
Masih terkekeh, Litz
mengacak surai pirang Kris yang sedikit gondrong. Kris menepis jemari itu dan membawa
tubuh tingginya meninggalkan balkon. “Kau harus meluruskan salah paham itu pada
Bo Eun! Aku dan Chanyeol??! Haisshh! Micheoso!?” gerutunya.
Gadis bersurai panjang
itu menatap punggung lebar Sang Adik menghilang ke dalam rumah dengan senyum
masih terukir di wajahnya.
Senyummu
memang membawa luka, tapi kami lebih memilih untuk terluka daripada sama sekali
tak melihat senyum kalian....
Karena
itu... tetaplah tersenyum....
.
.
.
END
.
.
.
A/N:
yak
ga tau ah ini cerita emang aneh banget huhuhu *mojok sama baekyeol*
Aku emang ga cocok
bikin ff straight yaaa huahahaha..
Ya udah lah.
Semoga ga kapok baca
cerita-cerita buatanku u,u
Regards,
Allotropy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar